Cerpen Demi Uang
Cerpen Demi Uang merupakan ceprn yang sangat menarik pada penasaran bukan dengan yang satu ini silakan dibaca ya
DEMI UANG
oleh Kamal
Agusta
Nando menatap Sandi untuk meminta kepastian.
“Bagaimana?
Kau berminat?”
Sandi
termenung. Ia memikirkan ajakan Nando yang mungkin bisa melepaskannya dari
tunggakan uang sekolah, tapi beresiko tinggi.
“Kau
hanya perlu melakukannya sekali saja untuk melunasi tunggakan uang SPPmu itu,
San.”
Sandi
menatap temannya itu. Teman yang selama ini menjadi tempatnya berbagi.
“Resikonya
tinggi, Nan. Bagaimana kalau aku ketangkap. Kau tahu sendiri kan kalau
akhir-akhir ini polisi sering melakukan razia. Apalagi yang kita lakukan itu
ilegal.”
Nando
menarik napas berat lalu membuangnya keras-keras. “Tapi tidak ada cara lain
lagi. Seandainya aku punya uang, aku pasti akan membantumu. Tapi, kau tahu
sendiri bagaimana kondisi keluargaku. Ayahku hanya pegawai rendahan yang
uangnya cukup makan dan membiayai sekolahku dan adikku, Nindi.”
Sandi ikut menarik napas. Nando benar. Ia
tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan uang yang jumlahnya lumayan besar
dalam waktu yang singkat, selain cara yang diusulkan Nando.
“Seperti
yang kubilang tadi, kau hanya perlu sekali untuk ikutan, pasti tidak bakalan
ada razia. Bagaimana?” tanya Nando sekali lagi.
“Aku
pikirkan dulu, Nan,” jawab Sandi.
Nando
menepuk bahu temannya itu. “Kau pikirkan saja dulu. Tapi, kalau kau setuju, kau
bisa datang ke rumahku. Biar kita sama-sama pergi ke tempat itu.”
Sandi
mengangguk dengan senyuman hambar.
***
Sandi
sampai rumah dalam keadaan benar-benar lelah. Cuaca yang sedang terik membuat
perjalanan dari sekolah ke rumah terasa amat panjang baginya. Kini seragamnya
sudah basah oleh keringat.
Sandi
segera menuju dapur. Ia butuh minuman segar untuk mengganti ion tubuhnya yang
hilang karena perjalanan pulang tadi. Ternyata di dapur sudah ada Ibu yang
sedang mengaduk adonan bakwan, risoles, pastel, dan lain-lainnya untuk dijual
nanti sore.
Sandi
baru saja menghabiskan satu gelas air saat Ibu menyadari kehadirannya.
“Kau
sudah pulang, San?” Sandi mengangguk sambil meletakkan gelas di atas meja.
“Kau makanlah. Tadi Ibu sudah masak sambal teri goreng
dan tumis kangkung kesukaanmu. Kau pasti sudah lapar kan?” lanjut Ibunya sambil
tersenyum. Tapi, Sandi bisa melihat kelelahan di wajah Ibunya.
Melihat ibunya Sandi jadi teringat kejadian di
sekolah. Tadi, pada jam istirahat ia dipanggil ke ruang guru oleh wali
kelasnya. Ia dipanggil karena belum melunasi kewajibannya selama tiga bulan.
Wali kelasnya mengatakan Sandi harus segera melunasi uang SPPnya yang
menunggak. Sekolah tidak bisa lagi memberinya keringanan. Kalau dalam minggu
ini Sandi tidak membayar uang SPPnya, pihak sekolah terpaksa meliburkannya
sementara waktu sampai ia melunasi uang sekolahnya itu. Inilah yang membuat
Sandi pusing.
Dulu, Sandi tidak pernah merasa sepusing ini
memikirkan uang sekolahnya. Bapaknya selalu membayarkannya tepat waktu di
setiap bulannya. Tapi, setahun Bapak meninggal. Saat hendak pergi bekerja,
Bapak ditabrak oleh anak pejabat yang mengemudikan mobil ugal-ugalan dalam
kondisi mabuk. Sejak kepergian Bapak kehidupan mereka menjadi sulit. Tidak ada
lagi kini yang menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka.
Memang, Pejabat itu memberi uang duka sebagai
permintaan maaf. Dan, anak pejabat itupun bebas dari tuntutan hukum. Beginilah
kehidupan di negar ini sekarang, yang berkuasa dan punya uang selalu menang.
Yang miskin, terpaksa menerima takdir diri.
Begitupun keluarga Sandi. Berbekal uang duka dari
pejabat tersebut mereka menyambung hidup. Namun, uang yang diberikan itu tidak
cukup di tengah harga barang yang serba melejit. Sekarang, untuk membiayai
kehidupan keluarga Ibu terpaksa bekerja sebagai penjual gorengan. Sandi pernah
mengutarakan pada Ibu untuk berhenti sekolah saja agar ia bisa membantu Ibu
bekerja. Tapi, Ibu menolaknya tegas. Ibunya ingin Sandi tetap sekolah. Karena
hanya itu yang nantinya akan mengubah nasib keluarga mereka.
Tapi sekarang, apakah Sandi akan bisa tetap bersekolah
jika kehidupan mereka terus-terusan seperti ini? Jangankan untuk membiayai
sekolahnya, untuk makan saja mereka susah. Gorengan yang dibuat Ibu akhir-akhir
ini sering tidak laku.
“Kau sedang memikirkan apa, San?” tanya Ibunya membuat
Sandi tersadar dari lamunannya.
“Tidak ada, Bu,” jawab Sandi memilih untuk berbohong.
“Kalau tidak ada, segeralah kau makan.”
Sandi mengangguk. Ia berjalan menuju rak untuk
mengambil piring. Saat Sandi hendak menyendok nasi ke dalam piring, Ibunya
berkata, “San, bulan ini sepertinya Ibu belum bisa membayar uang sekolahmu.
Kalau gurumu nagih, kau minta tangguh lagi, ya. Bilang Ibu akan membayarnya
bulan depan.”
Sandi tidak jadi menyendok nasinya. Ia menoleh pada
Ibu, dan melihat rasa bersalah di wajah ibunya. Hal itu membuat dada Sandi
sesak.
“Iya, Bu,” akhirnya hanya itu yang bisa ia katakan
dengan suara serak.
Kini ia kembali menatap nasi, sambal teri goreng dan
tumis kangkung di hadapannya. Mendadak selera makannya hilang.
***
“Jadi kau setuju?” tanya Nando saat sore hari Sandi
datang ke rumahnya. Saat itu mereka sedang duduk di teras rumah Nando yang
teduh karena dilindungi pohon mangga.
Sandi mengangguk. Ia tidak punya cara lain lagi. Jadi,
kalau ia ingin tetap bersekolah, ia harus melakukan ini. Meski beresiko tinggi.
“Kalau begitu nanti kita ke sana jam 7 malam. Masalah
motor, kau jangan risau. Kau pakai saja motorku ini. Cuma itu yang bisa
kulakukan untuk membantumu, San.”
Sandi tersenyum. “Makasih, Nan. Kau memang teman
terbaikku.”
“Kau sudah izin sama Ibumu akan pulang malam, kan?”
tanya Nando.
“Sudah. Tadi aku bilang belajar kelompok di rumahmu.”
Sekarang masih jam setengah enam. Jadi, masih ada
waktu satu jam lebih sebelum mereka pergi ke tempat yang telah mereka sepakati.
Tepat jam 7 mereka sudah bersiap-siap. Setelah minta
izin pada orangtua Nando dengan alasan belajar di rumah Sandi mereka berangkat.
Tentu saja orang tua Nando percaya karena selama ini Nando memang sering
belajar di rumah Sandi, begitupun sebaliknya.
Ternyata tempat yang mereka datangi adalah terminal
bus yang pada malam hari ramai oleh anak-anak muda untuk mengikuti balapan
liar. Saat mereka datang, beberapa orang langsung menyambut mereka. Ternyata
mereka teman-teman Nando.
“Sudah mulai balapannya?” tanya Nando pada cowok
jangkung yang tadi menyambut mereka.
“Belum. Sebentar lagi sepertinya. Kau sudah kangen
ingin balapan lagi, ya?” tanya cowok itu sambil mengisap rokoknya.
“Bukan aku, Don. Tapi, temanku ini.” Nando menunjuk
Sandi. Cowok itu hanya mengangguk.
Beberapa menit kemudian orang-orang mulai membariskan
motor mereka. Balapan akan segera dimulai. Cowok jangkung tadi ikut membariskan
motornya.
“Kau siap?”
Sandi menelan ludah. Tiba-tiba ia ragu. Apakah ia
yakin untuk melakukan hal beresiko seperti ini demi mendapatkan uang?
“San,”
Sandi menatap Nando. Ia tidak mungkin mundur lagi.
Akhirnya ia mengangguk. Nando menyerahkan kunci motornya pada Sandi. Sandi
menerimanya lalu ikut berbaris. Hatinya berdebar-debar saat melakukan ini.
Sebelum acara balapan dimulai, seorag cowok berkepala
plontos mengenakan jaket kulit hitam menerangkan tentang rute balapan. Lalu ia
juga menyebutkan bahwa hadiah bagi pemenang balapan ini adalah uang sebesar 1
juta rupiah.
Setelah mengumumkan hal itu, cowok itu menepi. Ia
memberi aba-aba untuk memulai acara balapan.
Satu. Dua.
Tiga ….
Puluhan motor yang tadi berbaris melaju dengan
kecepatan tinggi. Termasuk Sandi. Dengan kemampuannya yang pas-pasan ia
melajukan motor Nando secepat mungkin. Ia harus memenangkan balapan ini. Ia
harus mendapatkan hadiah uang itu untuk tetap bisa bersekolah.
Baru saja balapan memasuki lap kedua, tiba-tiba
terdengar suara serine mobil polisi yang melakukan razia penertiban. Para
pembalap yang tadi melaju mengikuti rute, kini berhamburan ke segala arah.
Sebisa mungkin mereka menyelamatkan diri. Para penontonpun ikut berlarian ke
sana-sini menyelamatkan diri dari tangkapan polisi.
Sandi juga begitu. Ia juga tidak lagi memikirkan tentang
balapan dan uang hadiah. Sekarang yang ia inginkan hanya menyelamatkan diri
dari kejaran polisi. Tapi kedatangan polisi yang mendadak membuat pikiran Sandi
kalut. Ia tidak tahu harus lari kemana agar selamat. Ia bahkan tidak peduli
dengan Nando yang entah pergi kemana.
Tapi, kemanapun mereka lari percuma. Ternyata polisi
telah merencanakan kegiatan razia ini. Balapan liar yang dilakukan di terminal
itu sudah jadi incaran mereka karena sering membuat warga sekitar resah.
Makanya razia malam ini mereka telah mengepung titik-titik yang kemungkinan
menjadi jalan bagi para pembalap melarikan diri.
Sandi
yang sudah berusaha untuk kabur ternyata tertangkap juga. Dirinya diringkus
bersama tiga orang pembalap liar lainnya. Motor Nando yang ia pakai sudah
diamankan polisi. Saat dirinya dibawa untuk naik ke mobil patroli ia bertemu
dengan Nando. Ternyata Nando juga tertangkap. Temannya itu menatapnya ketakutan
dan tubuh gemetaran. Sama seperti dirinya.
Mobil
patroli kini membawa mereka ke kantor polisi. Selama perjalanan kepala Sandi
tertunduk. Ia teringat tentang masalah yang ia hadapi, teringat tentang ibunya
yang sudah bekerja keras untuk kehidupan mereka selama ini, dan juga teringat
dengan uang untuk membayar SPPnya jika memenangkan balapan ini.
Tapi
kini semua sia-sia. Ia tidak akan mendapatkan uang sepeserpun. Ia pasti akan
diberhentikan karena telah melakukan balapan liar yang termasuk tindakan
criminal karena telah mengganggu keamananan dan kenyamanan masyarakat.. Lebih
buruknya lagi ia akan membuat ibunya sedih dan kecewa karena keputusannya yang
memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat.
“Biarpun
kita orang susah, San, jangan sesekali berpikiran untuk mendapatkan uang secara
jalan pintas dengan tindakan kriminal, seperti mencuri atau menipu orang.
Jangan sesekali melakukan itu. Karena ibu pasti akan kecewa.”
Sandi
teringat kembali pesan yang sering disampaikan Ibu padanya. Air mata sandi
jatuh. Ia menangis. Sandi menyesal telah menyetujui Nando untuk ikut balapan
liar ini demi mendapatkan uang.
Tapi,
semua sudah terjadi. Dan, penyesalan tidak pernah mengubah keadaan.[]
BIODATA
PENULIS
Kamal
Agusta, lahir dan besar di kota Pekanbaru, sembilan belas tahun silam.
Bercita-cita memiliki buku yang bermanfaat bagi masyarakat. Saat ini penulis
bertempat tinggal di jalan Hang Tuah Ujung RT 01 RW 09 Kelurahan Sail Kecamatan
Tenayan raya Pakanbaru-Riau. 28285. Kamal dapat dihubungi melalui aku FB: Kamal
Agusta, Email: kamalpenulis@gmail.com
dan Hp. 083186972428.
Data
Rekening Bank:
Bank
Mandiri cabang pekanbaru sudirman atas.
No
rek. 108-00-1143219-3
a.n
Kamal Agusta
Daftar Isi [Tutup]
0 Comments
Post a Comment