Cerpen remaja : Jurnal kak Rama Bagian 2

Share :
Jurnal Cinta
Cerpen remaja : Jurnal kak Rama Bagian 2 cerita ini sulit ditebak alurnya makanya dibuat Cerbung kalo kalian sudah tidak sabar dan penasaran tentunya, langsung saja dibaca ya...^__^


Gheta selalu bisa membuat kejutan. Bagaimana tidak..!!  Dia menelpon orang tuanya dengan santai dan memberi tahu mereka seolah perjalanan kami hanya seperti pergi ke kampung sebelah. Dan yang semakin membuat kaget, orang tuanya setuju. Beliau mendanai kami bertiga. Baru aku tahu orang tua gheta adalah orang yang berkecukupan dan lebih. Karena gheta yang nakal, dia tidak diberi izin keluar negeri seperti kakaknya yang lain.

Yaya bukan sembuh kikuknya, malah bertambah. Aku heran, ada apa di wajah gheta hingga yaya begitu senang memperhatikannya. Bagiku yaya hampir bernasib sama seperti gheta. Orang tuanya berkecukupan dan lebih tapi bedanya dia tidak disuruh jauh karena dia terlalu gemulai sebagai seorang lelaki. Alasan dia kuliah di palembang adalah karena orang tuanya percaya padaku. Jurusan kuliahnya pun adalah (maaf) desainer interior. Hampir tidak ada lelaki di kelasnya. Tapi yaya adalah sahabat terbaikku, aku siap berkorban untuknya.

Pesawat kami sampai di jakarta sore itu. Setelah itu bergegas kami mencari bis. Kami tetap ingin menghemat uang, mengingat apapun bisa terjadi nanti. Kami menempati kursi belakang. Gheta duduk diantara aku dan yaya. Yaya duduk manis, dia meletakkan kedua tangannya di atas lutut. Jika aku dan gheta kelamaan ngobrol berdua dia akan batuk keras sekali. Sepertinya aku benar-benar tau apa maksud yaya. Sayang sekali aku kurang peka terhadap hal seperti ini. Yaya pasti ingin gheta "em" entahlah aku kurang mengerti hal seperti ini.

Gheta mengingatkan kami agar tetap wapada. Jangan sampai kami betiga tidur bersamaan. Barang-barang kita harus ada yang jagain, ini jaman kriminal kawan. Begitu katanya. Aku terus terjaga, dalam kepalaku bertanya seperti apa wanita bernama Sellinda desvita itu. Aku membaca dalam remang lampu bis.

***

“Sellinda desvita, adalah embun padang pasir...” begitu kak rama mengawali kalimat pertama catatan tentang wanita itu. Selanjutnya adalah kata-kata indah bagai puisi pujangga merindu. Segera aku lewati karena aku tak mengerti. Aku ingin membaca bagaimana cerita tentang wanita ini.

Agustus 23.
Ini penolakan yang kesekian kali. Rasanya lebih baik makan pasir dari pada harus mengajaknya ketemuan terus. Cuma jalan-jalan aja susah banget. Emm, tapi... gimana nih. Kalo nggak ketemu jadi kepikiran terus...besok mau minta saran temen deh.

Aku tersenyum, sepertinya wanita itu tidak tertarik dengan kakakku, aku melanjutkannya.

Agustus 29.
Besok pagi aku mau ke pasar loak. Mau beli piring-piring bekas buat dibanting. Sial banget tuh cewek. Udah nolak lagi, ehh pake marah-marah, Di depan kelas, sedang penuh orang pula. Duuhh saat sedih gini jadi ingat khuza... sedang apa dia sekarang.. aku merindukannya...

Aku menguatkan hati. Remuk rasanya. Kubalik kehalaman berikutnya.

Oktober 7.
Aku mengerti mengapa peneliti nggak bisa merumuskan sikap wanita. Jika dia kukenalkan dengan makhluk bernama Sellinda Desvita. Semua rambutnya akan rontok. Termasuklah rambut keteknya, alis, botak semua... hari ini cewek itu menarik tanganku dan memaksa aku memboncengnya dengan vesp ku. Nggak tanggung-tanggung 3 kali bolak balik jembatan ampera. Habis sudah uangku buat beli bensin (dasar vespa butut, boros banget) tapi... ehemm2 aku bahagiaaaa bagett. Hahaha. Kalo ada khuza, pasti dia udah ku manjain habis2an... adooh aneh banget hari ini.

Aku tersenyum kembali, aku bisa bayangkan betapa senangnya kakak hari itu. Tapi berikutnya hanya catatan tentang kuliah dan puisi. Sampai berganti tahun kakak tidak menulis apapun. Catatan terakhir kakak tentang wanita itu cukup pendek.

Januari 20.
"Aku memutuskan. Sellinda desvita, kau adalah takdirku... aku mungkin harus mem..."

Catatan itu tidak selesai. Dari dulu aku penasaran apa yang terjadi dengan wanita itu. Tapi aku tak sempat berkhayal banyak. Kepalaku terlalu berat. Mataku meredup dan aku pun tertidur.

***

“bangun dek, dah nyampe cirebon nih...” suara kenek membangunkan kami. Gheta dan yaya bangun dengan malas. Sementara aku yang bangun terlebih dulu segera mengusap-usap wajahku. Aku menemukan barang-barang kami masih utuh. Syukurlah... Aku menoleh kekanan untuk membangunkan gheta dan yaya.

“Gheta... ya...” aku tak sempat memanggil nama yaya. Aku tertawa terbahak-bahak seperti orang bodoh. Iler yaya hampir tumpah sementara kepala gheta tepat dibawah dagu yaya. Aku segera menyumpal mulut yaya dengan tanganku. Gheta yang bangun gelagapan, bertanya.

“ada apa? ada apa?” gheta menoleh kiri-kanan. Tanganku masih dimulut Yaya, sekuat tenaga aku menahan tawaku.

“em, ooommf” kata Yaya sadar. Dia menghirup kembali cairan itu. Wajahnya merah padam. Sungguh situasi yang menjijikkan. Gheta penasaran setengah mati. Tapi aku tak kan menceritakannya. Bukan karena Yaya yang hampir bersujud memohon dirahasiakan. Tapi karena ini hanya hal yang nggak penting untuk dibahas.

Cirebon merekah menyambut kami. Jalan kami ringan, rasanya kemenangan itu sudah didepan. Kami memutuskan untuk menyewa mobil, dan bergantian mengemudikannya. Tak bisa dihitung berapa kali kami bertanya pada orang. Namun akhirnya kami tiba di alamat itu. Yaya membangkitkan semangatku dan berkata “Sellina desvita ada dirumah ini, za”.

***

Aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Jembatan rumah itu terlalu kecil untuk mobil masuk. Kemudian kami berjalan melewati pekarangan penuh bunga. Dari kejauhan, Di teras rumah itu terlihat seorang lelaki tua sedang duduk membaca buku dan menikmati kopinya. Aku menyapanya dengan sopan.

“permisi bapak, mau numpang bertanya.” Aku sedikit kaku, namun aku berusaha tersenyum. Jantungku mau copot karena bahagia dan gugup. Disinikah kakak?.

“yah ada apa nak?.” Bapak itu berdiri. Dia tersenyum ramah.

“apakah benar ini rumah Selinda Desvita?” aku masih tersenyum. Tapi senyum bapak itu hilang.

“hemh.. ya. Kau siapa?” kata bapak itu ketus. Aku tak menghiraukan.

“saya adiknya Rama andrian. Nama saya khu..” gelas kopi bapak itu melayang kewajahku. Tanganku reflek melindungi wajahku. Gelas itu pecah, cipratan kopi panas mengenai wajah Yaya dan Gheta. Gheta histeris.

“jangan pernah kau sebut nama anak jahanam itu. Pergi kalian bangsat..” Lelaki tua itu murka. Aku ingin memukulnya. Amarahku meledak. Tapi Gheta dan Yaya menarikku. Aku hampir tak bisa menenangkan diri. Gheta dan Yaya sekuat tenaga menarikku. Melihat wajah kedua temanku aku menguasai emosiku.

Kami keluar dari pekarangan rumah itu terburu-buru. Di dekat mobil aku merebahkan diri ke aspal. Terlalu sakit, semua ini sakit. Bukan tanganku yang luka kena pecahan gelas. Tapi dadaku yang semakin dipenuhi kalut dan ketidakpastian. Aku akan menangis, tapi masih mampu kutahan. Hanya Gheta yang menangis. Yaya mampu menguasai dirinya dan segera menghibur Gheta.

Harapan kami seperti dihempaskan lalu diinjak-injak. Namun seorang wanita paruh baya keluar dari pekarangan rumah itu berlari. Wajahnya dipenuhi gelisah dan cemas. Siapa kalian nak..? Apa kalian kenal vita..?. Aku menggelengkan kepala. Wajah ibu itu bersedih. Lalu aku penasaran dengan apa yang telah kakak lakukan. Beliau bercerita panjang. Dan cerita beliau membuat kepalaku serasa pecah.

Selanjutnya air mataku tumpah dengan sendirinya. Hatiku remuk. Setelah menangis tersedu-sedu aku memegang lagi dadaku yang sakit. Diantara sayangku pada Kak Rama terbesit benci. Aku baru saja belajar rasa benci seperti ini. Rasanya sakit. Sakit sekali. Ada rasa enggan mencarinya lagi, tapi ibu itu berkata pada kami.

“ibu tahu, dimana Rama. Dia ada di makassar, lombok.” Kata ibu yang hampir menangis melihatku..


Bersambung lagi..

-olx-
 Sumber : Kumpulan Cerpen

Daftar Isi [Tutup]

    Reaksi:
    Newer
    Older

    1 Comments

    Catatan si Boy said…
    wah,,, suka ngarang cerpen ya.. sy suka ngarang novel,, cuma tdk pernah selesai apalgi terbit.. heheh