Cerpen remaja : Jurnal kak Rama...
Kali ini Aneka remaja memberikan sebuah cerpen yang berjudul Cerpen remaja : Jurnal kak Rama... cerpen ini sangat menarik untuk dibaca, untuk lebih lanjut silakan baca ya cerpennya
Tubuhku keringat dingin dan gemetar. Jantungku berdebar kencang, dan nafasku sesak. Gheta sahabatku, mengatakan sesuatu tapi aku tak menghiraukannya. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang aku genggam. Sebuah kertas sederhana telah menjawab pertanyaan tersulitku, pertanyaan yang selama ini menyiksaku.
Tubuhku keringat dingin dan gemetar. Jantungku berdebar kencang, dan nafasku sesak. Gheta sahabatku, mengatakan sesuatu tapi aku tak menghiraukannya. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang aku genggam. Sebuah kertas sederhana telah menjawab pertanyaan tersulitku, pertanyaan yang selama ini menyiksaku.
Cerpen Cinta |
“makasih ge, makasih banget.. aku hutang budi padamu”. Lalu tanpa menghiraukan kata-kata Gheta aku berlari cepat. Aku mendengar Gheta memanggilku. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin segera sampai di kosku dan membaca jurnal kak Rama. Aku ingin memastikan sesuatu.
Pintu kamar kubuka dengan kasar. Aku berlari menuju lemari dan mengambil buku berwarna hijau tua. Ini adalah jurnal kakakku, kak Rama. Kubalik perlahan dan kutemukan nama yang sama seperti nama dalam jurnal kakakku. Sellinda desvita. Aku menghela nafas panjang, lega sekali. Dengan ini, aku menemukan satu titik terang. Rasanya segera aku akan menemukan kakak. Kakak yang sangat kurindukan. Kakak yang pergi meninggalkan banyak pertanyaan.
***
Rama adalah kakak kandungku. Dia adalah putra sulung keluarga kami. Sedangkan aku adalah anak bungsu. Usia kami terpaut 14 tahun, cukup jauh memang. Tapi kakak tidak jadi egois karena terbiasa menjadi anak tunggal seperti kata orang. Dia adalah seorang kakak yang sangat penysyang.
Jika mengingat segala sesuatu tentangnya. Aku akan merasakan rindu yang berlebihan. Terkadang jika melihat anak kecil bersama kakaknya, aku merasa sedih sampai ingin menangis. Bagiku sosok seorang kak Rama tidak pernah kutemukan lagi. Meskipun sedekat apapun orang itu. Kakak bisa menjadi apa saja untukku, kecuali melukai aku.
Sewaktu aku masih TK, kakak sudah SMU. Tapi berteman dengannya serasa berteman dengan anak seumur denganku. Kami berlarian mengejar layang-layang. Bermain petak umpet, bermain bola lalu aku selalu yang menang. Dia orang yang selalu kalah jika bermain denganku. Jika melihatku kalah dia akan sedih, padahal sesekali aku ingin membuat kakakku menang.
Lalu ada saat-saat kakak menjadi pahlawanku. Aku sangat takut petir dan guruh, bisa dikatakan aku phobia terhadap itu. Lalu jika langit sudah mendung, kakak akan segera pulang menemaniku. Walaupun sedang sekolah sekalipun. Ayah dan ibu akhirnya tahu, bahwa hanya kak Rama yang bisa membuat aku lupa dengan ketakutanku. Dia menggenggam tanganku dan menceritakan cerita kancil dan musuhnya.
Pernah juga saat kami bermain di sawah kakek, kakiku terkilir. Kakak menggendongku dipunggungnya sampai kerumah sakit. Jaraknya sangat jauh, dia sendiripun kelelahan sampai hampir pingsan. Aku tahu dia lelah tapi saat kutanya, dia menjawab tidak. Melihat kakiku dibalut perban dia hampir menangis, matanya berair. Dia meminta maaf terus menerus, dan berjanji akan lebih menjagaku. "Aku tak akan membiarkanmu terluka lagi.." begitu katanya.
Saat kakak kuliah adalah saat aku belajar mandiri. Tapi kakak tak pernah jauh. Jika mengirim surat pada ayah dan ibu, selalu ada surat khusus untukku. Surat itulah yang membuatku ingin cepat bisa membaca. Ayah membacakan surat kakak untukku. Tapi aku merasa kakak ada di dekatku. Kata-katanya indah meski hanya bernada yang sama, yaitu aku harus selalu berhati-hati jangan sampai terluka. Walau dia jauh tapi tetap saja mencemaskanku.
Jika lebaran datang kakak juga pasti pulang. Dia membawakan mainan dan buku cerita untukku. Tak pernah sekalipun pulang dengan tangan kosong, sampai hari itu tiba. Kakak tidak membawa apapun kecuali seorang temannya, temannya itu seorang wanita. Sore itu aku marah besar dan memakinya, kesalahan terbesar dalam hidupku.
Malamnya aku tidur dengan marah dan sedih, karena tidak membelikan aku mainan. Dan itu artinya dia tidak sayang lagi padaku, itu pikirku dulu. Namun paginya saat aku terbangun dia telah pergi. Kakak pergi entah kemana, dia membawa caci makiku.
Dia memang meninggalkan sesuatu. Tapi itu hanya sebuah buku. Buku itu terselip di bawah pintu kamarku. Buku itu adalah catatan saat dia merantau ke palembang. Jurnal bisu yang tak bisa menjawab mengapa kakak pergi. Aku harus tahu mengapa kakak pergi.
Ayah dan ibu tidak mau menjawab pertanyaanku. Mereka hanya diam membisu. Jika aku rewel menanyakan kakak, ayah akan marah-marah tak jelas. Namun aku tahu, ayah dan ibu masih memikirkan kakak. Itu terlihat karena Ibu sering menyendiri dan matanya sering memerah. Terlebih ayah, dia jarang makan lalu sering jatuh sakit.
Dua bulan setelah kakak pergi, ayah kena serangan jantung. Berminggu-minggu dia dirawat. Tapi ayah tidak mampu bertahan. Dia meninggalkan aku dan ibu. Tahun itu adalah tahun yang paling menyedihkan dalam hidupku. Umurku baru delapan tahun dan memang belum banyak mengerti tentang kehidupan. Tapi kepergian kakak dan ayah membuatku sangat kehilangan dan menderita.
Aku bersumpah tak akan membuat ibu bersedih seperti ayah. Aku tak akan bertanya lagi tentang kakak. Atau membahas tentang ayah. Sejak itu Hari-hari kulalui dengan ceria demi ibu. Walau sejak saat itu, ada lubang besar di hatiku. Kekosongan dan keingintahuan yang teramat besar. aku akan mencari jawaban itu sendiri. Jurnal kak Rama adalah petunjuk itu.
Aku mengikuti jejak-jejak kak Rama. Pergi ke palembang untuk kuliah di kampus yang sama. Diam di kos yang sama dengannya dulu. Mencari tahu siapa teman wanita yang dulu pernah di ajak kak Rama pulang kampung. Tapi ibu kosku hanya tahu dimana kos wanita itu. Disitulah aku bertemu Gheta, anak perempuan yang seangkatan denganku. Aku menceritakan padanya tentang kak Rama. Dan beruntung dia mau membantuku.
***
Semalam Gheta telah menyelamatkanku. Dia menemukan daftar nama dan alamat mahasiswa yang pernah diam di asrama putri itu. Daftar itu berumur 10 tahun lebih. Berbulan-bulan Gheta mencari orang yang dulu menjadi induk semang kos itu. Akhirnya aku menemukan satu nama yang sama seperti nama di jurnal kakakku.
Wanita itu bernama Sellinda desvita. Aku yakin wanita itu mempunyai hubungan spesial dengan kak Rama. Karena selain namaku, nama Sellinda desvita tertulis berulang kali dalam jurnal kakak. Dan aku telah memutuskan untuk mencari wanita itu. Sellinda desvita ber tempat tinggal di cirebon. Meski jauh aku tetap akan kesana.
Pagi ini aku telah packing barang-barangku. Yaya teman sekos yang telah menjadi sahabat dekatku, melakukan hal yang sama. aku tak bisa protes, dia sudah tahu cerita kak Rama sejak sma dulu, dan ingin membantuku. Kami berdua akan melakukan perjalanan, setidaknya sampai Gheta datang.
“kau kira akan pergi gitu aja?” Gheta terlihat kesal.
“ya, makasih atas semuanya get. emang ada apa?” kataku sambil tersenyum.
“Khuza, kau ini seperti tak kenal denganku” dia semakin cemberut.
“Eh? apa?.” Aku bingung.
“aku nggak suka akhir yang kayak gini. Aku juga mau lihat kamu berhasil. ENAK AJA MAU PERGI TANPA AKU”. Gheta hampir berteriak. Aku memang lupa, Gheta adalah anak perempuan yang gigih dan tidak suka setengah-setengah. Tapi yang terburuk adalah dia tak bisa dibuat penasaran dan tantangan. Perempuan setomboi Gheta kadang-kadang tak bisa aku mengerti.
“oke, oke. Jangan teriak, hehe. Gini, kamu ngerti dikit dong get. Kamu itu cewek, aku berdua dengan Yaya cowok. Kami berdua aja cukup, lagian nanti apa kata orang tuamu. Perja..” kalimatku dipotong.
“ZA...aku ini WANITA, bukan anak perempuan lagi. Aku bisa jaga diri. POKOKNYA AKU MAU IKUT. Dan ini bukan NEGOSASI. aku HARUS ikut” wajahnya garang. Aku hanya garuk-garuk kepala bingung. Aku bisa tak bayangkan seperti apa orang tua Gheta. Bagaimana mereka berhadapan dengan Gheta jika sudah ngotot seperti ini.
Aku ingin minta pendapat Yaya. Tapi Yaya yang bersembunyi dibelakangku, merah wajahnya. Dia tersenyum malu-malu. Yaya memang selalu bertingkah aneh didepan Gheta. Waktu aku mau bertanya dia sudah mengangguk setuju. Tapi anggukannya berlebihan, lehernya sampai mengeluarkan bunyi “krekk”.
Sudah diputuskan. Kami bertiga akan pergi siang ini. Aku tak memberi tahu ibuku. Tak ingin aku membuatnya resah. Lagipula aku sudah menabung cukup banyak uang untuk perjalanan ini. Jalan menuju kakak ku Rama telah terlihat. Walau apapun yang menghalangi, aku akan menemukanmu kak...
bersambung...
Daftar Isi [Tutup]
0 Comments
Post a Comment