Cerpen remaja : Jurnal kak Rama Bagian 4
Cerpen remaja : Jurnal kak Rama Bagian 4 Kalau kemaren masih bagian 3 sekarang udah bagian 4 moga Kalian suka Yaa dengan cerbung ini...
Kami istirahat makan di surabaya. Supir kami bergantian dengan supir lainnya. Aku tidak berselera makan, bukan karena tengah malam. Tapi karena Yaya menjadi pendiam. Gheta juga tampak malu-malu. Menit-menit hening seperti ini membuatku salah tingkah. Benar-benar tidak mengenakkan.
Ternyata debar yang kurasakan ini adalah sebuah misteri. Aku sudah menguatkan diri agar melupakan debar ini. Yaya adalah sahabat terbaikku, dan aku tak ingin melukainya. Lagipula debar ini baru malam ini kurasakan. Sedangkan Yaya sepertinya sudah lama sejak mengenal Gheta. Tapi semakin aku mencoba melupakan semakin kencang debar itu terasa. Inikah cinta terkutuk yang membuat kakak pergi meninggalkan kami sekeluarga..?.
Kalut itu terus terasa. Aku kehilangan fokus pada kak Rama. Aku meminta waktu pada supir kami agar beristirahat sedikit lebih lama. Aku ingin berpikir bagaimana memecahkan masalah baru ini. Lalu aku memisahkan diri sesaat dari mereka. Alasanku ke toilet. Padahal aku lari dari senyum Gheta dan diam Yaya yang membuat sesak. Jika aku egois memilih Gheta, aku akan kehilangan Yaya. Jika aku mengatakan tidak pada Gheta mungkin dia akan pergi. Dan Yaya tetap akan kehilangan semangat. Pilihan apapun, akan membuat perjalananku menjadi tidak fokus lagi.
Terlintaslah sebuah pikiran aneh, untuk sementara ini ide cemerlang. Aku akan meninggalkan mereka disini. Aku telah menyimpan alamat kak Rama di hapeku. Biarlah sendiri aku melanjutkan ke lombok. Mereka akan kutinggal, lalu nanti akan ku sms agar mereka segera pulang ke palembang.
Aku berjalan pelan keluar toilet itu. Lalu menuju belakang restoran, namun Yaya sudah disana.
“aku tahu kamu bakal kesini” Yaya berdiri di tempat gelap itu. Dia melipat tangannya di dada dan tatapnya dewasa sekali. Aku hanya diam, lidahku kelu.
“kau tahu za, lari dari masalah adalah satu kesalahan. Dan kesalahan itu yang dilakukan kak rama dulu. Sekarang kau mau mengulanginya?” Yaya mendekat, aku semakin bisu.
“za, lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan” Yaya menatapku kalem.
“apa...apa itu ya?” aku tertunduk.
“ikuti kata hatimu, teman. Apapun yang kau pilih, aku tetap temanmu. Kita telah tumbuh dewasa bersama.” Yaya menepuk pundakku. Aku mengangkat kepalaku dan menatap wajahnya. Aku mencari keikhlasan diwajahnya, dan aku menemukannya.
Malam terasa hangat. Dadaku penuh bahagia melihat ketulusan seorang sahabat. Yaya adalah orang baik yang sangat jarang ditemukan. Kini aku yakin, yakin sekali. Debar tadi bukanlah apa apa. Itu hanya gelora seorang lelaki. Kami berjalan menuju gheta dan supir yang menunggu dimobil. Senyum gheta kusambut dingin.
“Maaf gheta, aku hanya bajingan. Aku adalah orang yang sempat berpikir merebutmu, seseorang yang sahabatku cintai. Dan orang yang sempat berpikir bisa menyambut cintamu. Padahal aku tak bisa tahu, apa itu cinta?, apa itu nafsu?. Aku tak pantas untukmu” ini adalah kata-kata yang ingin kusampaikan pada gheta. Tapi tak bisa. Sikap dingin dariku adalah penjelasan terbaik yang aku punya saat ini.
***
Tanpa terasa kami melewati Bali. Lalu bagai hanya sedetik, makassar menyambut kami. Supir travel kami mengantarkan lansung ke alamat yang kami pinta. Tentu saja ongkosnya harus kutambah dengan sisa uang terakhir didompetku. Sore ini kami tiba di depan rumah yang sangat mirip dengan rumahku di kampung. Aku yakin ini rumah kak Rama.
Belum sempat kami keluar dari mobil, seorang lelaki dan anak perempuan remaja keluar dari rumah itu. Yaya hampir berteriak dan menepuk keras punggungku. Yaya masih mengenal wajah lelaki itu. Akupun begitu, meski sudah tak muda lagi, aku mengenal baik senyum itu. Senyum yang sangat ingin kulihat sebelas tahun terakhir. Tanpa berpikir aku lansung keluar mobil dan berjalan tergesa-gesa menghampirinya. Dia tidak menyadari kami, dia masih tertawa menggoda anak perempuan itu. Aku geram.
“KAMU JAHAAAAT, SIAPA KAMU...” anak itu memukul-mukul tubuhku. Tapi pukulannya tak menyakiti tubuhku. Pukulan itu terasa menyakiti perasaanku. Aku yang tak pernah memukul siapapun, tak menyangka akan memukul kakakku sendiri. Namun kak rama bangkit dan menahan anak perempuan itu.
“nggak pa-pa nak, ayah nggak pa-pa. lagipula dia pamanmu.” Anak itu berhenti memukulku dan memeluk kak rama. “setidaknya putrkui bisa memanggilmu paman, bolehkan……… Za.” Kakak memandangku dengan senyumnya. Aku luluh meski masih emosi.
“sebahagia itukah kau kak?. Masih bisa tersenyum dan menganggap pertemuan ini hal yang biasa. SEBAHAGIA ITUKAH KAU???” aku melempar jurnalnya. Buku itu mengenai wajahnya. Tapi dia hanya terkejut dan tak marah sama sekali.
“tentu aku sangat bahagia dengan pertemuan kita. Tapi aku tak menyangka kau mencariku. Padahal jurnal ini...aku berikan agar kau melupakan aku dan menjadi hadiah terakhirku”. Dia terlihat sedih. Aku semakin emosi.
“hadiah???, siapa butuh hadiah???. Aku mencarimu, setiap hari, dan berdoa agar masih bisa bertemu denganmu. TAPI KAU PERGI, TANPA PENJELASAN DAN BAHAGIA MELUPAKAN KAMI SEKELUARGA...APA ARTI KAMI INI” aku berteriak marah, walau sesungguhnya aku sangat sedih sekali. Kakak diam saja, dia semakin terlihat sedih.
“aku yakin, aku yakin ayah, ibu, dan kamu akan bahagia selamanya za...walau tanpa aku. Tentunya akan bahagia tanpa aku, bukankah kata ayah aku ini AIB?. Tapi sudahlah. Itu masa lalu. Pasti ayah, dan ibu sekarang bahagia juga dan mengirimmu kan?” dia mencoba tersenyum. Tersenyum dibalik kesedihannya.
“ayah meninggal dua bulan setelah kakak pergi. Dalam sekaratnya dia menyebut namamu kak. Sekarang ibu sakit-sakitan. Itukah arti bahagia yang kau inginkan?. Melihat keluarga kita hancur?. Itukah arti bahagia?. Katakan padaku kak?” aku mulai menangis teringat dengan ibu.
Kak rama jatuh lagi. Dia menutup matanya lalu menangis sejadi-jadinya. Putrinya terlihat bingung dengan apa yang terjadi. Namun anak perempuan itu mencoba menenangkan ayahnya. Kak rama bergumam tak jelas. Tapi aku yakin dia sangat menyesal. Aku melanjutkan kalimatku.
“mereka tak pernah mau membahas tentang kakak, sekalipun. Aku melacak kakak dengan jurnal yang kakak tinggalkan. Aku tak pernah tahu dengan apa yang terjadi. Tapi aku begitu merindukanmu, begitu juga ibu.” Aku kasihan melihatnya yang menangis seperti anak kecil.
“kenapa?.... kenapa?.... kenapa kalian begitu mempedulikan aku yang hina ini?” dia mendongak dengan wajah yang membuat iba.
“tentu saja karena kau kakak kandungku. KAU PIKIR KENAPA?” aku benci dan marah mendengar kata-katanya yang konyol.
“bahkan...ayah dan ibu tak cerita..za.., a, a, aku bukan kakak kandungmu” dia terisak. Aku memegang kerah bajunya, tanganku mengepal, aku akan memukulnya. Tapi tanganku di pegangi Yaya. Gheta dan yaya berdiri dibelakangku.
“KAU INI...semua orang berbuat kesalahan kak. Tapi kau tak berhak bicara seperti itu. Kita dialiri darah yang sama...kau ini..” aku benar-benar geram, mengapa dia berkata seperti ini.
“za, ini kenyataan. Aku bukan kakak kandungmu. Aku di adopsi saat berumur 5 tahun. Darah kita tidak sama.” wajah kakak berkata ini bukan kebohongan. Aku yang awalnya merasa pertanyaan hidupku telah terjawab. Kini kembali dalam jurang yang penuh dengan kalimat tanya.
“apa yang sebenarnya yang terjadi...AAAAAHHHHHHHHH” aku merasa seperti gila. Kepalaku serasa mau pecah. Aku berteriak kencang. Suaraku cukup menggetarkan sore yang dipenuhi jingga ini.
(bersambung...)
-olx-
Kami istirahat makan di surabaya. Supir kami bergantian dengan supir lainnya. Aku tidak berselera makan, bukan karena tengah malam. Tapi karena Yaya menjadi pendiam. Gheta juga tampak malu-malu. Menit-menit hening seperti ini membuatku salah tingkah. Benar-benar tidak mengenakkan.
Ternyata debar yang kurasakan ini adalah sebuah misteri. Aku sudah menguatkan diri agar melupakan debar ini. Yaya adalah sahabat terbaikku, dan aku tak ingin melukainya. Lagipula debar ini baru malam ini kurasakan. Sedangkan Yaya sepertinya sudah lama sejak mengenal Gheta. Tapi semakin aku mencoba melupakan semakin kencang debar itu terasa. Inikah cinta terkutuk yang membuat kakak pergi meninggalkan kami sekeluarga..?.
Kalut itu terus terasa. Aku kehilangan fokus pada kak Rama. Aku meminta waktu pada supir kami agar beristirahat sedikit lebih lama. Aku ingin berpikir bagaimana memecahkan masalah baru ini. Lalu aku memisahkan diri sesaat dari mereka. Alasanku ke toilet. Padahal aku lari dari senyum Gheta dan diam Yaya yang membuat sesak. Jika aku egois memilih Gheta, aku akan kehilangan Yaya. Jika aku mengatakan tidak pada Gheta mungkin dia akan pergi. Dan Yaya tetap akan kehilangan semangat. Pilihan apapun, akan membuat perjalananku menjadi tidak fokus lagi.
Terlintaslah sebuah pikiran aneh, untuk sementara ini ide cemerlang. Aku akan meninggalkan mereka disini. Aku telah menyimpan alamat kak Rama di hapeku. Biarlah sendiri aku melanjutkan ke lombok. Mereka akan kutinggal, lalu nanti akan ku sms agar mereka segera pulang ke palembang.
Aku berjalan pelan keluar toilet itu. Lalu menuju belakang restoran, namun Yaya sudah disana.
“aku tahu kamu bakal kesini” Yaya berdiri di tempat gelap itu. Dia melipat tangannya di dada dan tatapnya dewasa sekali. Aku hanya diam, lidahku kelu.
“kau tahu za, lari dari masalah adalah satu kesalahan. Dan kesalahan itu yang dilakukan kak rama dulu. Sekarang kau mau mengulanginya?” Yaya mendekat, aku semakin bisu.
“za, lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan” Yaya menatapku kalem.
“apa...apa itu ya?” aku tertunduk.
“ikuti kata hatimu, teman. Apapun yang kau pilih, aku tetap temanmu. Kita telah tumbuh dewasa bersama.” Yaya menepuk pundakku. Aku mengangkat kepalaku dan menatap wajahnya. Aku mencari keikhlasan diwajahnya, dan aku menemukannya.
Malam terasa hangat. Dadaku penuh bahagia melihat ketulusan seorang sahabat. Yaya adalah orang baik yang sangat jarang ditemukan. Kini aku yakin, yakin sekali. Debar tadi bukanlah apa apa. Itu hanya gelora seorang lelaki. Kami berjalan menuju gheta dan supir yang menunggu dimobil. Senyum gheta kusambut dingin.
“Maaf gheta, aku hanya bajingan. Aku adalah orang yang sempat berpikir merebutmu, seseorang yang sahabatku cintai. Dan orang yang sempat berpikir bisa menyambut cintamu. Padahal aku tak bisa tahu, apa itu cinta?, apa itu nafsu?. Aku tak pantas untukmu” ini adalah kata-kata yang ingin kusampaikan pada gheta. Tapi tak bisa. Sikap dingin dariku adalah penjelasan terbaik yang aku punya saat ini.
***
Tanpa terasa kami melewati Bali. Lalu bagai hanya sedetik, makassar menyambut kami. Supir travel kami mengantarkan lansung ke alamat yang kami pinta. Tentu saja ongkosnya harus kutambah dengan sisa uang terakhir didompetku. Sore ini kami tiba di depan rumah yang sangat mirip dengan rumahku di kampung. Aku yakin ini rumah kak Rama.
Belum sempat kami keluar dari mobil, seorang lelaki dan anak perempuan remaja keluar dari rumah itu. Yaya hampir berteriak dan menepuk keras punggungku. Yaya masih mengenal wajah lelaki itu. Akupun begitu, meski sudah tak muda lagi, aku mengenal baik senyum itu. Senyum yang sangat ingin kulihat sebelas tahun terakhir. Tanpa berpikir aku lansung keluar mobil dan berjalan tergesa-gesa menghampirinya. Dia tidak menyadari kami, dia masih tertawa menggoda anak perempuan itu. Aku geram.
“HEI...” aku memanggilnya. Aku semakin mendekatinya. Dia menatapku yang menghampirinya. Aku memukulnya di wajah dan kak rama terjatuh. Dia tidak menangkis sedikitpun. Anak perempuan disampingnya menangis. Kini rasa bersalah menyergapku karena melihat anak itu menangis.
“KAMU JAHAAAAT, SIAPA KAMU...” anak itu memukul-mukul tubuhku. Tapi pukulannya tak menyakiti tubuhku. Pukulan itu terasa menyakiti perasaanku. Aku yang tak pernah memukul siapapun, tak menyangka akan memukul kakakku sendiri. Namun kak rama bangkit dan menahan anak perempuan itu.
“nggak pa-pa nak, ayah nggak pa-pa. lagipula dia pamanmu.” Anak itu berhenti memukulku dan memeluk kak rama. “setidaknya putrkui bisa memanggilmu paman, bolehkan……… Za.” Kakak memandangku dengan senyumnya. Aku luluh meski masih emosi.
“sebahagia itukah kau kak?. Masih bisa tersenyum dan menganggap pertemuan ini hal yang biasa. SEBAHAGIA ITUKAH KAU???” aku melempar jurnalnya. Buku itu mengenai wajahnya. Tapi dia hanya terkejut dan tak marah sama sekali.
“tentu aku sangat bahagia dengan pertemuan kita. Tapi aku tak menyangka kau mencariku. Padahal jurnal ini...aku berikan agar kau melupakan aku dan menjadi hadiah terakhirku”. Dia terlihat sedih. Aku semakin emosi.
“hadiah???, siapa butuh hadiah???. Aku mencarimu, setiap hari, dan berdoa agar masih bisa bertemu denganmu. TAPI KAU PERGI, TANPA PENJELASAN DAN BAHAGIA MELUPAKAN KAMI SEKELUARGA...APA ARTI KAMI INI” aku berteriak marah, walau sesungguhnya aku sangat sedih sekali. Kakak diam saja, dia semakin terlihat sedih.
“aku yakin, aku yakin ayah, ibu, dan kamu akan bahagia selamanya za...walau tanpa aku. Tentunya akan bahagia tanpa aku, bukankah kata ayah aku ini AIB?. Tapi sudahlah. Itu masa lalu. Pasti ayah, dan ibu sekarang bahagia juga dan mengirimmu kan?” dia mencoba tersenyum. Tersenyum dibalik kesedihannya.
“ayah meninggal dua bulan setelah kakak pergi. Dalam sekaratnya dia menyebut namamu kak. Sekarang ibu sakit-sakitan. Itukah arti bahagia yang kau inginkan?. Melihat keluarga kita hancur?. Itukah arti bahagia?. Katakan padaku kak?” aku mulai menangis teringat dengan ibu.
Kak rama jatuh lagi. Dia menutup matanya lalu menangis sejadi-jadinya. Putrinya terlihat bingung dengan apa yang terjadi. Namun anak perempuan itu mencoba menenangkan ayahnya. Kak rama bergumam tak jelas. Tapi aku yakin dia sangat menyesal. Aku melanjutkan kalimatku.
“mereka tak pernah mau membahas tentang kakak, sekalipun. Aku melacak kakak dengan jurnal yang kakak tinggalkan. Aku tak pernah tahu dengan apa yang terjadi. Tapi aku begitu merindukanmu, begitu juga ibu.” Aku kasihan melihatnya yang menangis seperti anak kecil.
“kenapa?.... kenapa?.... kenapa kalian begitu mempedulikan aku yang hina ini?” dia mendongak dengan wajah yang membuat iba.
“tentu saja karena kau kakak kandungku. KAU PIKIR KENAPA?” aku benci dan marah mendengar kata-katanya yang konyol.
“bahkan...ayah dan ibu tak cerita..za.., a, a, aku bukan kakak kandungmu” dia terisak. Aku memegang kerah bajunya, tanganku mengepal, aku akan memukulnya. Tapi tanganku di pegangi Yaya. Gheta dan yaya berdiri dibelakangku.
“KAU INI...semua orang berbuat kesalahan kak. Tapi kau tak berhak bicara seperti itu. Kita dialiri darah yang sama...kau ini..” aku benar-benar geram, mengapa dia berkata seperti ini.
“za, ini kenyataan. Aku bukan kakak kandungmu. Aku di adopsi saat berumur 5 tahun. Darah kita tidak sama.” wajah kakak berkata ini bukan kebohongan. Aku yang awalnya merasa pertanyaan hidupku telah terjawab. Kini kembali dalam jurang yang penuh dengan kalimat tanya.
“apa yang sebenarnya yang terjadi...AAAAAHHHHHHHHH” aku merasa seperti gila. Kepalaku serasa mau pecah. Aku berteriak kencang. Suaraku cukup menggetarkan sore yang dipenuhi jingga ini.
(bersambung...)
-olx-
Daftar Isi [Tutup]
2 Comments
Post a Comment