Cerpen Sedih : Malangnya Kakakku

Share :
Cerpen Sedih : Malangnya Kakakkumerupakan sebuah cerpen yang bukan bertajuk Cerpen Romantis yang sebelumnya ini merupakan karya teman kita Yesi Astri merupakan kisah yang sangat menarik untuk dibaca, dari pada penasaran marilah kita baca dari Cerpen Sedih berikut moga kalian suka silakan baca aja deh


Nama : Yesi Astria
Alamat : Praya, Lombok Tengah
Twitter: @Ecieci_


Masa lalu adalah masa yang seharusnya dilupakan, masa lalu adalah dunia dimana kita bisa mengambil pelajaran darinya, banyak yang bilang masa lalu adalah masa yang pahit tapi aku rasa masa lalu adalah suatu masa yang sangat berharga dalam hidupku. Aku sangat bahagia dengan hidupku sekarang ini, memiliki putra yang gagah dan putri yang cantik. Kedua anakku memang sangat aku banggakan, mereka tak ubahnya seperti pohon yang rindang tempatku berteduh dikala aku merasa kepanasan. Aku mencintai mereka.

     “Sayang, ayo kita berangkat, ngapain kamu masih duduk-duduk disitu?” suara suamiku memasuki telinga, aku segera menutup album photo keluarga yang ada di pangkuanku.

     “Iya Mas, tunggu sebentar.” Aku membereskan semua pakaianku dan bergegas keluar dari kamar, menemui suamiku. Aku membuka pintu mobil dan menyuruh putra putriku masuk terlebih dahulu.

     “Horee… kita mau kerumah nenek…” sorak Fahri, putraku.

     “Iya sayang, Fahri dan Fara masuk gih…”

     “Baik Ma…” ucap mereka serentak. Aku akan melaju kerumah orangtuaku dan rencananya kami akan menginap untuk beberapa hari. Aku tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang keluargaku, aku ingin bercerita tentang kisah cinta kakakku. Waktu itu aku masih duduk dikelas 3 SMP dan kakakku duduk dibangku SMA kelas 2. Waktu itu aku belum mengerti apa itu cinta aku belum mengerti untuk apa pacaran aku belum mengerti tata cara memahami perasaan lawan jenis dan aku tak tahu tanda-tanda orang yang sedang jatuh cinta. Aku benar-benar tak mengetahui apa-apa. Sampai suatu hari….

     “Tok…tok…tok” aku mengetuk pintu kamar kakakku. “Masuk!” ucapnya, aku memasuki kamarnya.

     “Kakak lagi ngapain?” tanyaku.

     “Biasa telponan sama cowok.”

     “Oh, Hani boleh pinjem penggaris nggak Kak?”

     “Ambil aja tuh disana!” ucapnya sambil menunjuk ke arah meja belajar.

     “Kakak nggak belajar?”

     “Udah kok tadi.”

     “Oh ya udah Hani ke kamar dulu.”

     “Eh, tunggu! Kakak boleh cerita nggak sama kamu?”

     “Bukannya kakak lagi nelpon?”

     “Udah dimatiin kok.”

     “Cerita tentang apa?”

     “Gini… kamu tau kan kalau kakak sayang banget sama Denial dan nggak mau pisah dari dia.”

     “Ya Kak…”

     “Nah, tapi akhir-akhir ini kakak merasa dia berubah dan nggak pernah hubungin kakak selama seminggu. Dan saat dia menghilang kakak ketemu sama Andri yang ternyata adik kelas kakak, kakak merasa nyaman di dekatnya, dia bisa menghiburku disaat aku butuh hiburan. Tadi lewat telepon dia nembak aku, menurut kamu aku terima atau nggak?” sejenak pertanyaannya membuatku bingung, aku tak pernah merasakan apa yang dia rasakan, aku tak tahu harus menjawab apa, kakakku dengan Kak Denial memang beda sekolah tapi mereka menjalin hubungan sejak kelas 2 SMP. Jadi nggak adil kalau dibandingan dengan Kak Andri yang baru saja ia kenal.

     “Sebenarnya aku tak mengerti masalah seperti ini, tapi aku rasa jangan deh, mungkin Kak Denial ada urusan makanya dia nggak ngehubungin kakak.” Jawabku.

     “Hmm… semoga saja begitu ya.”

***

Seminggu berlalu, aku memandang buku yang ada di tanganku, senja hari itu memang sangat indah. Matahari kelihatan begitu cantik saat tenggelam dan malampun tiba. “Siapa itu?” ucapku dalam hati ketika mendengar suara motor mendekati rumahku, aku melihat kakakku diantar laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Laki-laki itu pergi dan kakakku memasuki rumah.

     “Siapa laki-laki itu Kak?”

     “Oh… dia Andri yang aku ceritakan itu.”

     “Kenapa kakak terima dia?”

     “Hmm, kakak memang sayang sama Denial, kakak ingin setia sama dia, tapi dengan tinggal di kota yang berbeda, aku ragu dia masih mencintaiku atau tidak.”

     “Seharusnya kakak memberi kepercayaan sama Kak Denial.”

     “Tau apa kamu, sudahlah aku capek.” Kakakku berlalu begitu saja, aku nggak mau dia menyesal nantinya. “Tok…tok..tok” suara ketukan pintu terdengar dari luar, sepertinya ada tamu.

     “Kak Denial?” Aku tercengang melihatnya yang datang malam-malam.

     “Hallo Hani, apa kabar kamu?”

     “Baik Kak, ayo masuk!”

     “Kakak kamu ada?”

     “Ada, duduk dulu deh Hani panggilin.” Kak Denial mengangguk pelan. Aku memasuki kamar kakakku.

     “Kak, ada Kak Denial didepan.”

     “Yang bener kamu?” kakakku segera mematikan telponnya.

     “Iya.” Kakakku berjalan menuju ruang tamu dan bicara dengan Kak Denial, entah apa yang mereka bicarakan.

***

Aku tak pernah menganggap hari-hariku istimewa seperti kakakku yang selalu merasa istimewa didepan puluhan pria yang mengaguminya, secara fisik aku memang berbeda dengannya, dia kelihatan lebih perfect. Pagi itu aku hanya melamun merasakan embun di kursi depan rumah, tiba-tiba saja kakakku duduk disampingku.

     “Hei… sedang apa kamu?” sapanya.

     “Bersantai aja Kak.”

     “Han, kata Denial dia mau pindah sekolah keluar Pulau, katanya dia mau ikut orang tuanya pindah rumah, dia bilang dia masih sayang sama kakak tapi kakak menolak berhubungan jarak jauh.”

     “Jadi kakak putus?” ucapku kaget.

     “Hmmm…begitulah Han.”

     “Memangnya dia pindah kemana?”

     “Ke Malang.”


***

Beberapa bulan berlalu, aku diterima di salah satu SMA favorit, yang tentunya berbeda dengan sekolah Kakakku yang biasa. Rasanya bahagia sekali bisa bertemu dengan teman-teman baru. Namun orangtuaku sering membanding-bandingkan prestasiku dengan kakakku sehingga membuatnya kesal dan kadang tak mau melihatku.

     “Tok…tok…tok…” terdengar suara pintu kamarku. “Masuk saja!” ternyata kakakku. “Ada apa Kak malam-malam begini?”

     “Han, maafin kakak ya…” ucap kakakku sembari memelukku.

     “Kakak kenapa?”

     “Mungkin ini balasan karena aku nggak mau dengerin kata-kata kamu.”

     “Maksud kakak apa?” tanyaku. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan memberikannya padaku, setelah kuperhatikan ternyata benda itu adalah alat tes kehamilan dan setelah kuperhatikan tandanya positif. Aku memeluk erat kakakku lalu menenangkannya.

     “Siapa yang melakukan ini?” tanyaku perlahan. Sempat ada jeda dalam obrolan kami dan akhirnya dia mau berbicara.

     “Andri Han,” ucapnya sambil memelukku. “Apa yang harus aku lakukan Han?”

     “Kakak tenang dulu ya, besok kita pikirin lagi masalah ini.”

Keesokan harinya aku mencoba menenangkan kakakku dengan mengunjunginya ke kamar. Tapi tak lama kemudian Ibu memanggilku.

     “Ada apa Bu?” ucapku setelah sampai dihadapannya.

     “Ibu kecewa sama kamu, dari dulu Ibu percaya bahwa kamu yang terbaik dan bisa jadi tulang punggung keluarga, tapi apa kamu malah membuat nama keluarga kita hancur?!”

      “Maksud Ibu apa?” ucapku heran.

      “Tadi Ibu berniat membersihkan kamarmu tapi apa yang Ibu temukan, ini…” mataku terbelalak, Ibu menunjukkan alat tes kehamilan itu, tanpa sadar aku menjatuhkanya semalam, aku benar-benar menyesal.

      “Itu….itu… bukan punya Hani Bu.”

      “Lalu punya siapa? Ibu atau Bapak hah?!” aku terdiam sejenak sambil menangis dan tak tahu harus berkata apa, aku tak mungkin mengatakan sejujurnya.

      “Itu punyaku Bu,” sahut kakakku yang tiba-tiba keluar dari kamarnya dengan linangan air mata. “Kakak” ucapku padanya. “Maafin Fika Bu, Fika nggak bermaksud ngecewain Ibu, tapi Fika dijebak Bu.” Ucap kakakku sambil bersujud dibawah kaki Ibu. Ibuku menangis dan berkata.

     “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ini sudah keterlaluan. Siapa yang melakukan ini padamu?”

     “Andri Bu…,”

     “Dia harus bertanggung jawab.”

***

Singkat cerita, kakakku terpaksa menikah dengan Andri. Kak Andri tak pernah bersikap baik pada kakakku, dia selalu pulang malam bahkan dia tidak pernah mencari nafkah untuk istrinya. Aku mendengarnya langsung dari kakakku, sungguh malang nasibnya. Setelah beberapa bulan berlalu, kakakku melahirkan, bayi laki-lakinya sangat lucu dan manis.

Setelah 3 tahun berlalu, aku melanjutkan sekolah ke salah satu Universitas di Malang. Disana aku sangat menikmati statusku sebagai mahasiswa dan yang lebih mengejutkannya lagi Kak Denial juga kuliyah disana. Dia sering membantuku mengejarkan tugas-tugas kuliyah yang sulit. Kita sering bercanda dan kadang makan di kantin bersama dan aku merasa sangat nyaman didekatnya….,

     “Ma, sudah sampai ini. Senyum-senyum aja dari tadi.” Ucap suamiku mengagetkanku.

     “Oh… iya Pa. ayo anak-anak kita turun!” perintahku kepada anak-anakku.

Aku melangkahkan kaki menuju rumah tempat aku dilahirkan, dari jauh sudah terlihat bayangan  Ibu, Ayah, dan… tentunya Kakakku dan keponakanku. Kami mendekati mereka dan aku langsung memeluk Ibu, Ayah dan terakhir Kakakku. Sembari memeluknya aku berbisik.

     “Kakak, Hani kangen banget sama kakak, kakak apa kabar?” dia melepas pelukanku dan menjawab.

     “Kakak baik-baik saja Han…”

     “Kak Andri mana Kak?”

     “Maafkan Kakak ya Han, sebenarnya 3 bulan yang lalu kakak sudah bercerai, tapi kakak tak mau memberitahumu. Kakak takut mengganggumu.”

    “Ya ampuun kakak, kakak yang tabah ya…”
    “Ya Han, seandainya dulu, kakak tidak menyia-nyiakan kesetiaan Denial, mungkin tidak akan begini.”

     “Maafin Hani Kak…”
     “Ya, nggak apa-apa. Kamu anak yang baik dan kamu beruntung telah mendapatkan lelaki yang baik dan setia seperti Denial.”

Aku memeluk kakakku lagi dan meminum teh bersama keluarga.

    

Daftar Isi [Tutup]

    Reaksi:
    Newer
    Older

    0 Comments