Cerpen Remaja : Aku Selalu Mati di Ujung Kalimat Terakhirnya
Cerpen Sedih Remaja : Aku Selalu Mati di Ujung Kalimat Terakhirnya
Aku Mati |
Jarum jam telah menunjukkan pukul 20.00, dan Chika sudah memberikan instruksi agar aku segera menjemputnya, sms dari Alan tidak kubalas, aku langsung menelponnya.
‘’Al, bisa kan kalau malam ini kalian diskusi tanpa aku?”
“Mana mungkin tanpa kamu? Kalau diskusi atau rapat biasa, tidak ada masalah! Tapi ini tentang settingan aksi!”
“Kapan dan apa isu sentralnya?”
“Sepertinya besok, masalah pembebasan lahan!”
“Kenapa tak ada yang bilang akan ada aksi besok?”
“Aku juga tidak tahu, kawan! Sebaiknya kau segera meluncur ke sini!”
“Aku ke rumah Chika dulu! Setengah jam lagi aku tiba di situ!”
Setelah menutup telepon, aku segera mengendarai vespa bututku menuju rumah Chika. Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di teras rumahnya. Dia tampak cantik malam ini. Dalam balutan jilbab berwarna pink yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada dan blus berwarna putih, dia tampak anggun. Senyum mautnya itu bikin aku jadi berat hati membatalkan acara kami. Senyum itu, pasti berubah menjadi raut sangar yang….Oh Tuhan, aku tak tega!
“Kamu kenapa? Kok kelihatan gelisah?” rupanya Chika mulai menangkap gelagatku.
“Maaf sayang, malam ini, sepertinya kita tidak bisa nonton! Aku mendadak ada pertemuan dengan teman-teman, soalnya besok kami akan turun ke jalan lagi, jadinya harus disetting malam ini!”
“Apa?!!! Dan, kurang pengertian apa lagi aku ke kamu? Kurang sabar apa lagi aku? Apa yang kamu dapatkan dengan menjadi aktivis?”
“Banyak! Aku merasa berarti karena memperjuangkan kepentingan masyarakat, ikut mengontrol kebijakan pemerintah, dan…?”
“Dan apa hasilnya? Negeri ini berubah kah? anak-anak jalanan itu diperhatikan pemerintah? tingkat korupsi menurun? rakyat hidup makmur? Kurasa kalian hanya bisa bikin jalanan macet!”
“Chika, untuk mewujudkan itu semua, tidak segampang yang kamu pikir! Putra-putri terbaik bangsa ini membutuhkan waktu lebih dari 350 tahun agar bisa memproklamasikan kemerdekaan kita! Mestinya kamu mengerti dan memahami itu!”
“Lantas, siapa yang saat ini tengah menikmati kekuasaan? Bukankah mereka dulu juga aktivis sepertimu? Mereka yang dulu juga berteriak-teriak atas nama rakyat kan? Aku takut kau dan teman-temanmu menjadikan organisasi kalian hanya sebatas batu loncatan agar bisa dikenali, menjadikan organisasi kalian sebagai wadah sosialisasi diri agar dikenal idealis dan dipilih menjadi anggota legislative atau jabatan-jabatan politik lainnya setelah kalian selesai berproses di situ! Atau boleh jadi saat ini, kalian tak lebih hanyalah kendaraan politiknya seseorang! Aksi kalian besok juga mungkin ditunggangi seorang jendral atau salah satu elit yang punya kepentingan!” Chika terus memojokkanku dengan argumen-argumen yang tak bisa kubantah, sungguh aku tak menyangka ucapan ini keluar dari mulut seorang mahasiswi jurusan Biologi yang tadinya kupikir pragmatis.
“Dani, masyarakat tak sekedar butuh teriakan-teriakan kita yang kosong! Sungguh, aku tak bermaksud mengajarimu! Tapi berapa banyak Sarjana Pertanian, mantan aktivis yang pulang ke desanya untuk menjadi petani? mengajari masyarakatnya bertani, membuka lapangan pekerjaan, berapa banyak? Padahal menurutku, itulah sesungguhnya yang disebut perjuangan! Maaf , Dani! Untuk kali ini, aku tak bisa memberi toleransi. Kita putus!!” Kalimat terakhir Chika Nurizka itu seperti telah menghentikan detak jantungku! Hubunganku dengan gadis yang baru saja membuatku benar-benar mengenalnya malam ini, selama dua tahun lebih berpacaran terpaksa kandas.
***
Setelah putus dengan Chika, aku dan dia benar-benar tak lagi berkomunikasi. Sempat beberapa kali menelponnya tapi selalu saja diabaikan. Aku berusaha menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatan organisasi untuk bisa melupakannya, tapi selama satu tahun ini, dia tak bisa kuhapus dalam ingatanku secara permanen, meski beberapa minggu terakhir, aku mulai dekat denga Anita, perempuan cerdas, cantik dan yang membuatku kagum adalah karena diapun seorang orator yang kharismatik seperti Ayahnya. Kami dekat karena masalah yang menimpa Ayahnya. Ayah Anita adalah seorang anggota legislative yang cukup idealis dan menurutku pantas dijadikan panutan. Dia memiliki pemikiran yang progress dan selalu mengedepankan kepentingan masyarakat. Dia juga adalah salah satu alumni, jebolan dari organisasi di mana aku sekarang tengah bernaung. Ayahnya dituduh melakukan tindakan asusila terhadap seorang mahasiswi dan terpaksa harus menjalani wajib lapor. Tadinya sempat di tahan tapi karena aksi yang dilakukan oleh para pendukungnya, desakan-desakan publik dan tentu saja para aktivis sepertiku, beliau kemudian dibebaskan dengan syarat wajib lapor, sebelum disidangkan. Ini sebenarnya bukan sesuatu yang berlebihan, Firman Darmawan, ayah Anita adalah tokoh yang memiliki citra baik di mata masyarakat. Aku tak percaya kalau dia melakukan hal serendah itu. Sayangnya, kemungkinan besar aku akan melewatkan proses persidangannya karena harus segera pulang ke kampung, menjenguk ibuku yang sedang sakit.
***
Seminggu lebih aku menemani ibuku di kampung dan kembali setelah beliau merasa sudah lebih sehat. Hari ini pembacaan vonis untuk pak Firman, tapi aku udah tahu kalau dia pasti akan dibebaskan. Meski begitu, aku tetap saja akan pergi ke pengadilan. Saat akan melangkah keluar dari kamar kostku, Ponselku tiba-tiba berdering dan aku terkejut, karena yang menelponku adalah Chika, perempuan yang masih menjadi rartu dikerajaan hatiku.
“Halo, apa kabar Chika?”
“Aku baik-baik saja! Kamu sendiri, gimana kabarnya?
“Sama! Aku juga baik-baik saja! Kenapa menelpon? Adakah hal penting yang ingin kamu bicarakan?”
“Jangan datang ke pengadilan ya! Aku takut kau akan kecewa!”
“Tenanglah! Aku tak mungkin kecewa! Aku yakin pak Firman tidak bersalah dan dia pasti akan dibebaskan!”
“Laki-laki brengsek itu bersalah, Dan! Percayalah!”
“Tidak, aku sangat mengenal pak Firman! Dia orang baik, dan kaupun akan mengaguminya kalau kau mengenalnya sedekat aku mengenalnya!”
“Baiklah! Terserah kamu saja. Aku harap, kau membelanya bukan karena dia adalah donatur utama dari organisasasi kalian tapi karena kau memang yakin, dia tidak bersalah!”
“Tentu saja…,” Aku urung melanjutkan kata-kataku karena Chika sudah lebih dulu menutup telponnya. Segera saja aku melanjutkan niatku pergi ke pengadilan. Sesampainya di pengadilan, aku dan puluhan orang lainnya tak bisa masuk ke ruang sidang. Di dalam sudah penuh, terpaksa kami menunggu di luar. Setengah jam kemudian, aku tersenyum puas, bersorak-sorai bersama teman-teman karena Pak Firman Darmawan divonis bebas! Aku melihat Chika ke luar dari ruang sidang dan tersenyum ke arahku. Senyum yang selalu membuatku tak bisa berkutik, tapi kali ini aku menangkap ada sendu diwajahnya. Aku menghampirinya. Mungkin ini adalah kesempatanku berbicara langsung dengannya, mencoba melumerkan rindu yang menahun.
“Slamat ya! Akhirnya tak sia-sia kau datang ke sini!”
“Alhamdulillah! apa yang kamu khawatirkan tadi memang tidak terjadi! Tapi kok, kamu juga datang? Kamu sengaja untuk bisa menemuiku ya?" Kataku sedikit menggoda.
“Bukan! Aku memang harus datang, karena aku adalah mahasiswi yang jadi korban dalam kasus ini. Korban pemerkosaan!” kalimat terakhir Chika kembali membuat jantungku berhenti berdetak! Berkali-kali aku mati karenanya dan selalu diujung kalimat terakhirnya!**
Daftar Isi [Tutup]
0 Comments
Post a Comment