Cerpen Cinta : Pendamba Cinta

Share :
Cerpen : Pendamba Cinta

Sore itu jam tiga pas. Panas yang menyengat di ubun-ubun pun mulai mereda. Miya menutup rapat OSIS dengan mantap setelah sebelumnya mengingatkan stafnya untuk menyelesaikan pe er masing-masing seksi.

Semua sudah beranjak dari duduknya, pulang. Miya masih terpekur sendiri di ruang OSIS. Enggan pergi. Enggan pulang.

Di sekolah dia merasa lebih bisa menjadi dirinya sendiri. Ngga perlu menahan diri, ngga perlu makan hati. Dikenal sebagai siswi pandai, walaupun tak terlalu mengejar predikat prestatif dalam lomba-lomba. Taat peraturan sekolah, pandai memenej organisasi: OSIS dan Mading (majalah dinding). Toleran dan disegani oleh teman laki-lakinya. Bukan berarti dia lolos dari godaan dan keisengan cowok-cowok puber itu. Hanya saja, Miya cukup luwes menyikapinya.

Tapi lain di sekolah, lain pula dia jika berada di rumah. Miya menjadi pendiam. Jutek. Suram lah pokoknya. Apa yang salah dengan rumah ya, pikirnya. Apakah rumahku terkutuk? Dikutuk? Oleh siapa kalau memang benar dikutuk? Aah, mestinya kau tak berpikir negatif begitu Miya, tegurnya pada dirinya sendiri.

Tapi memang begitulah kondisi yang Miya alami. Sikap positifnya di sekolah seakan amblas, terbang entah kemana, kalau dia sampai di rumah. Akan lain halnya saat ada teman yang bertandang ke rumahnya. Sikap Miya akan sedikit berubah. Seakan kehadiran teman menjadi obat yang cespleng baginya untuk mengalihkan perhatiannya.

Dan sore ini, Miya melangkahkan kakinya memasuki rumah seperti membawa beban berat. Seperti biasa, sejak tiga tahun terakhir ini. Sejak dia lulus SMP. Sejak dia menyadari sikap hangat yang palsu pada mamanya.

Miya masuk kamar setelah mengucap salam, entah pada siapa, mungkin pada jin-jin yang numpang tinggal di rumah, karena dia tak akan menemukan siapapun disana. Setelah mengganti bajunya, Miya makan siang. Sendiri. Makanan yang dimasak dengan terburu-buru oleh mama. Mama.

Miya mengenang mamanya sambil menelan suap demi suap isi piringnya. Hampir tak pernah dia perhatikan apa yang dimakannya. Apakah yang sedang kau pikirkan sekarang, Ma? Batin Miya bergemuruh bertanya pada angin sepoi yang bertiup dari jendela berteralis di sampingnya. Apakah ada aku, Ma, dalam benakmu saat kau sibuk dengan notulensi rapat kantor atau mengatur jadwal direkturmu?

Bangun pagi sebelum subuh, Mama selalu sibuk di dapur sambil tak lupa memencet mesin cuci dan menyalakan kran air. Menejemen rumah yang cukup keren. Begitulah Miya melihat mama mengurus rumah.

Saking kerennya, mama selalu melakukan hal yang sama tiap hari, sehingga nampak bagai robot bagi Miya. Mungkin karena mama melakukan dialog yang menurut Miya monoton, hampir seperti…sekedar basa-basi, sekedar agar tak lengang ruangan ini.

Dulu, Miya akan tetap semangat menceritakan semua aktifitasnya. Tapi lama-lama, dia menyadari bahwa mama tak terlalu memperdulikan semua ceritanya. Memang mama kadang menimpali. Tapi, jika Miya pikir lagi tentang semua respon mama, hambar memang, serasa dialog satu arah saja. “Oya?”, “O gitu?”, “Mmm”, “Ho oh”, dan sejenisnya yang nadanya Miya rasa sekedar agar terlihat mendengarkan, padahal tidak. Nada yang asal bunyi, nada yang kurang care. Ngga perhatian.

Dulu, menjelang kelulusannya dari SMP, Miya berpikir, mungkinkah dia bukan anak kandung mama. Tapi tidak lama, sebab otaknya mengajaknya berpikir bahwa golongan darah dan akta kelahirannya mengungkapkan data yang sebaliknya.

Dan papa…memang papa seorang yang cukup hangat. Tapi itu tergantung gimana respon mama padanya. Kalau mama cuek and bikin bete, hampir bisa dipastikan papa akan bersikap tidak jauh dari itu. Bahkan pada Miya. Aura cuek dan bete memang sangat cepat menular ke sekitar, mungkin. Ah, tapi aku sudah biasa, jerit Miya dalam hati. Senyum sinisnya yang agak miring mengambang tak rela dibibirnya. Sambil memandang sebal keluar jendela. Merutuki hidupnya yang hambar. Hampa.

Di sekolah dia sangat populer. Banyak kawan, tapi tak ada yang terlalu dekat dengannya. Dia tak pernah mengijinkan siapapun terlalu dekat dengannya. Semuanya selalu dijaganya dalam batas kewajaran. Cewe dingin, begitu mereka menyebutnya. Tapi itu bahkan semakin membuat banyak temannya penasaran padanya.

Pernah seorang teman sekelasnya, Vina, menanyakan hal itu padanya. Betapa sebenarnya Miya ingin menangis mencurahkan perasaan sepinya pada Vina saat itu juga. Tapi tidak. Yang Miya lakukan hanya mengangkat bahunya, sambil tersenyum kecut dia berkata, “Oh ya?” Tentu saja sebagai teman yang selalu memperhatikan Miya, Vina tetap menunggu jawaban Miya. Tapi kelihatannya Miya tak hendak menjawab apapun dan membiarkan Vina berkubang dalam rasa penasarannya.

Guru pembimbingnya pun pernah menanyakan hal itu. Setelah sebelumnya meminta maaf karena akan mengajukan pertanyaan yang agak pribadi. Miya hanya mengangkat satu alis matanya ke atas. Miya tidak suka kehidupan pribadinya diulik. Tapi karena Pak Hendra yang bertanya. Dia hanya diam mempersilahkan.

“Miya, kamu benar-benar siswi yang cemerlang dan punya potensi yang besar untuk masa depanmu.” Kata Pak Hendra memulai. “Tapi dibalik semua bakatmu, saya kok merasa ada yang kurang darimu. Menurut Bapak, kamu bertangan dingin terhadap semua tugasmu, dan itu bagus, sangat bagus. Hanya saja, terlalu dingin, Miya. Apa kamu menyadari itu?”

Miya sangat tahu maksud Pak Hendra dengan “terlalu dingin.” Dan beliau benar. Tapi Miya hanya mengerutkan alis matanya sambil balik bertanya, “Maksud Bapak? Ahahaha, iya sih, saya memang suka kebanyakan minum es di kantin Bu Jum. Tapi saya yakin itu tak akan mempengaruhi kerja saya, Pak. Suer…” suara Miya mengecil lalu hilang.

Betapa sebenarnya dia tak suka berbohong. Ini salah satu prinsip dalam hidupnya. Tapi demi menghindar dari pertanyaan yang demikian menembus privasinya, Miya berlagak pilon. Walaupun akhirnya dia tak sanggup mempertahankan nada suara yang meyakinkan untuk bisa membuat Pak Hendra mundur dari pertanyaan itu.

Miya sangat menghormati Pak Hendra. Pak Hendra selalu percaya dan care dengan semua kegiatan OSIS. Dan Miya tahu, beliau begitu bukan karena sekedar menjalankan tugas sebagai guru pembimbing, tapi lebih karena cinta dan sayangnya pada semua siswa-siswi putih abu-abu. Mungkin karena beliau sangat memahami gejolak jiwa remaja yang jelas jauh dari stabil. Dan Miya berpikir, jelas dia salah satu dari yang tidak stabil itu. Dingin. Hahaha. Betapa tepatnya Pak Hendra menggambarkan kehampaan jiwaku, gerutu hati Miya.

Pak Hendra hanya tersenyum mendengarkan Miya ngeles. “Jadi, kamu tahu, kan, kalau kamu terlalu dingin?” Miya hanya mengangguk enggan. “Dan kamu tahu itu nggak wajar.” Pak Hendra sepertinya bukan sedang bertanya. Dia sedang menyatakan. Menegaskan. Miya mengerang dalam hati. “Duuh, kayaknya ngga bisa berkelit lagi deh.”

“Bapak kayak psikolog aja.” Protes Miya pendek, masih enggan menjelaskan.

“Kamu mau cerita ke Bapak?” Nada Pak Hendra kali ini seperti memohon, tapi Miya yakin beliau tak sedang memerintah. Tapi ini lebih buruk! Rutuk Miya. Miya lebih pandai berkelit dari tekanan, tapi lemah untuk sebuah permohonan. Yang tulus. Apalagi yang dimohonkan ini untuk kebaikan dirinya. Ah!

Walaupun curhat ke Pak Hendra mungkin bisa melempangkan kesumpekan batinnya, Miya masih bergulat dengan kenyamanan yang datang tak diundang itu.

“Sangat sulit ya?” Tiba-tiba Pak Hendra bertanya.

Miya meringis dan mengangguk lagi. Beliau tahu. Beliau tahu pergulatanku, batin Miya. Apa dulu waktu beliau masih remaja juga punya masalah yang sama denganku. Miya mengajukan dugaan pada dirinya sendiri. Well, ini tentangku, bukan tentang beliau. Yang jelas beliau paham.

Tak perlu datang ke guru BP untuk curhat kalau OSIS sudah punya guru pembimbing yang peka terhadap anak-anak asuhnya begini. Miya sedang menimbang-nimbang bagaimana sebaiknya menyampaikan curhatnya biar tak terkesan cengeng.

Saat membuka mulutnya, pengkhianat itu bahkan sudah mendahului kata-kata Miya. Air mata brengsek, rutuk Miya. Alhasil, Miya, cuma megap-megap kayak ikan mas koki.

“Saya rasa, Bapak bahkan bisa lebih mengerti daripada saya sendiri, Pak Hendra. Bapak tentu lebih banyak makan asam-garam kehidupan. Jadi, ya, mungkin sekali Bapak bisa membantu saya. Mohon bantuannya ya, Pak?” cepat sekali Miya bicara untuk mengatasi kegugupannya atas air mata yang turun tak terkontrol.

Bersamaan dengan air matanya, hati Miya terasa pedih, klise, seperti diiris sembilu. Semua hambar dan hampa yang selama ini disalahgunakannya untuk menumpulkan rasa sedihnya tiba-tiba menghilang. Hampa selalu menyelebungi dirinya dari rasa pedih menyadari bahwa dia memang tidak bahagia dengan keluarganya. Dan kini, tiba-tiba semua beban kesedihan dan kepedihan menyeruak ke permukaan hatinya dan membuatnya berdarah.

Miya tak yakin bagaimana ekspresi mukanya saat ini. Tapi Miya lega bahwa Pak Hendra menanyainya di ruang guru, dan bukan di ruang OSIS yang setiap saat anak buahnya bisa masuk. Miya yakin dia tak ingin, teman-temannya tahu tangisnya. Bersyukur bahwa mungkin Pak Hendra tahu bahwa ini akan terjadi, Miya tersenyum penuh terima kasih di antara air matanya.

Walaupun sekarang ini hatinya sangat sakit oleh semua rasa yang tiba-tiba menghunjamnya, Miya yakin hatinya sudah mulai menghangat. Hangat oleh harapan. Dia tahu akan ada yang menolongnya melalui semua ini. Sekarang, setelah dia mengijinkan dirinya menerima uluran pertolongan dari Pak Hendra. Mungkin, nantinya dia juga akan bisa memandang dengan lebih hangat pada Vina, dan pada teman-temannya yang lain.

Mungkin akan tiba pula saatnya, bagi Miya, untuk memandang lebih hangat pada Papa, lalu Mama. Mungkin Mama akan merasakan kehangatan itu juga dan bersedia membuka hatinya untuk Miya. Untuk semua. Mungkin.

***

Daftar Isi [Tutup]

    Reaksi:
    Newer
    Older

    0 Comments