Cerpen Pendidikan Cinta: Loving Chandra

Share :

Cerpen Pendidikan Cinta
“Gue ada proposal yang gue pengen tawarin ke lo, Chan.”

“Yaitu...?”

“Gue ingin melamar lo, Chan. Gue ingin kita pura-pura menikah. Oma Jo, pengen sekali gue segera nikah dengan alasan takut nggak bakalan bisa kasih restu kalo gue nikah dengan alasan usia dan penyakit beliau. Dan gara-gara itu juga gue mau dijodoin sama Helen yang matre dan muna itu. Huft! Sok baik-baikin oma gue padahal ada maunya. Setelah apa yang gue jalani dengan Amara, gue rasa gue nggak akan pernah pengen nikah lagi. Mungkin ini salah satu cara yang aman buat kita berdua. Gue ga perlu sakit hati kalo ternyata pernikahan ini gagal dan lo juga dapet yang lo mau. Bukankah balas dendam itu manis?”

“Apa lo nggak salah orang? Gue rasa lo sakit jiwa, Ar!”

“Nggak. Gue nggak pernah seyakin ini. Gue yakin gue nggak salah orang dan gue bener-bener waras saat gue ngajuin proposal ini ke lo. Kita teman sejak kecil dan Oma sangat sayang sama lo. Apalagi?”

“Gue bilang lo sakit jiwa. Lo tega banget sih ngebohongin oma lo sendiri demi keuntugan lo. Ko bisa sih lo mikir seegois itu?”

***
Chandra namaku. 29, single. Pembenci lelaki. Yah ga se-lebay itu sih, just say, aku lagi gak demen aja urusan sama lelaki. Sejak hubungan ga jelas dengan Ruben selama 3 tahun lebih berakhir, aku merasa aku layak lebih mencintai diri sendiri lebih daripada memberikan tenaga, waktu, kasih aku kepada orang yang bahkan ngga pernah memintaku menjadi kekasihnya secara verbal dengan jelas: “Chandra, aku sayang kamu… Sayang sampai tulang. Maukah kamu menjadi kekasihku?” Kami pergi bersama, saling menjaga, berciuman, berbagi kasih, berpelukan, apapun yang layaknya dilakukan sepasang kekasih... Menjadi tawanan kasihnya dengan sukarela. Dan tololnya, karena aku bergitu sayang pada Ruben, aku tidak peduli kapan Ruben akan mengatakannya. Aku akan menanti Ruben memintaku menjadi kekasihnya dan mungkin menjadi ibu dari anak-anaknya. Penantian yang lama dan menggelisahkan sejujurnya… Sampai kudengar kabar Ruben bertemu Beth, kekasih masa kuliahnya, dan lebih memilih Beth daripada aku. Sakit? Banget! Sampai aku ketemu Armand, teman masa kecilku, yang juga sama-sama apatisnya soal cinta, dua ekor kerang bercangkang rapuh yang kesepian. Kami memiliki pendapat yang sama bahwa orang yang setia adalah orang yang bodoh dan karena kebodohan itu pula yang membuat kami terluka.

Armand namanya. Sedari kecil ikut Oma Jo dan Opa Andre, Papa-Mamanya meninggal karena kecelakaan. Tumbuh besar dari kasih dan didikan Oma-Opa. Usianya baru 33 tahun, speak four foreign languages, gila kerja. Tinggi, tidak terlalu tampan tapi sangat menarik walau kesannya seperti gunung es bagi wanita. Armand memiliki banyak hal yang bisa dijanjikan kepada wanita: rumah yang nyaman, karir yang menjanjikan dan aku bisa melihat keteguhan hati dan kasih yang tak terbatas jika itu mengenai hal yang dikaitkan dengan orang yang dia sayang. Tidak ingin menikah karena Amara, tunangannya—sekarang mantan—selingkuh dengan koleganya. Dan sekarang tengah sibuk mencari istri untuk memenuhi keinginan neneknya, Oma Josephine.

Oma Jo adalah sosok wanita tua berambut keperakan yang baik dan penyayang. Usianya 80 tahun, cukup sehat untuk orang seusia beliau karena tiap hari masih sempat berkebun dan mengurus butik kecilnya di salah satu mall di kota kami. Beliau mengasihiku penuh. Itu karena beliau selalu berharap mendapatkan cucu perempuan dan saudara untuk Armand yang tak pernah didapatkannya karena kepergian Papa-Mama Armand yang terlalu cepat. Dan kasihnya berpindah penuh ke Armand dan aku sebagai teman masa kecilnya.

***
“Chandra, please… Ga usah tengok ke belakang…”, pinta Armand lembut.

Bodohnya aku yang tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan lalu! Larangan merupakan tantangan seru bagitu. Dan ujung ekor mataku malah mencuri-curi, menatap ujung ruangan. Ruben dan Beth berpelukan sambil memasuki ballroom tempat pesta pernikahan kolega Armand berlangsung. Ruben dan Beth tampak berkilauan, kilau yang tak seperti ketika bersamaku. Dia tampak begitu bahagia. Terlintas di benakku, begitukah mereka yang sedang jatuh cinta? Mereka memiliki cahayanya sendiri. Kunang-kunang yang berpendar indah dalam pekat malam…

Nyeri itu muncul lagi…

Yang aku tak sadar tiba-tiba saja Armand menarikku mendekat ke dekapnya, memelukku erat, menatap lembut mataku dengan penuh kasih… dan… Menciumku hangat… Lembut… Indah… Luar biasa… Pelukannya terasa hangat pada punggungku… Mendekap rapuhku… Menghisap seluruh perihku…
Bumi berputar… Dan sepertinya udara memiliki nafasnya sendiri…Dia membuatku merasakan lagi bagaimana mencinta kala pertama. Menyesap candu yang mematikan. Dia membuat seluruh inderaku tumpul dan hanya tertuju padanya.

Armand keras… Arogan… Nekat… Tapi baik… Aku rasa aku tak keberatan untuk mencoba berpura-pura menjadi istrinya…

“Jadi gimana? Maksud gue, di proposal lo tugas gue ngapain? Terus apa untungnya buat gue?” Kataku sambil mencuri udara, mengatur nafas, menyembunyikan kegugupanku atas ciuman Armand.

“Hak istimewa sama seperti nyonya rumah sungguhan: rumah, pakaian, duit gaji bulanan dari gue buat lo, dan yang paling menggiurkan: ga perlu pake kontak fisik intens terutama dalam hal kebutuhan biologis a.k.a sexual needs. Kita berbagi ranjang, YES, tapi ga perlu ada kontak fisik ‘itu’. Gimana?”

“Lo ngotot banget sih? Lo pikir gue se-desperate itu apa mau ngebales Ruben?” Aku menatap matanya tajam-tajam lalu meninggalkannya.

“Ayolah, Chan... Proposal gue simple aja kok. Sampai kapan sih gue kudu nunggu lagi? Dan setelah ciuman tadi gue rasa lo juga pengen bales Ruben. C'mon. I know you want it(1). Banyak untungnya di lo kan?”Armand mengekor di belakangku.

Do I really want it? (2) Apa aku bener-bener pengen balas dendam pada Ruben? “Lo kasih gue waktu buat mikir deh. OK?” kataku sambil melangkah menjauh.

Berharap menghindari Ruben malah bertatap muka dengannya.

“Chandra, indah seperti kunang-kunang yang menyala.” sapa Ruben lembut.

Bila masih terikat dalam hubungan tidak jelas dengannya aku pasti akan meleleh karena mantra yang akan membuatku semakin jatuh cinta padanya. Ruben selalu pandai memilih kata-kata yang tepat untuk memenangkan hati wanita. Ternyata patah hati memberikan keajaiban yang tidak terduga...

“Thanks. Owh, ya kebetulan ketemu lo. Ini Armand, tunangan gue. Kita berencana menikah dalam waktu dekat. Kalau ada kesempatan datang ya.” kataku tiba-tiba sambil menarik lengan Armand dan mengenalkannya pada Ruben.

Ya Tuhan!!! Tiba-tiba saja aku menyesali mulutku yang tak mau sinkron dengan otakku. Keajaiban lain dari orang yang patah hati adalah kamu akan mengatakan apapun yang kamu mau tanpa berpikir panjang asalkan itu menguntungkan posisimu ketika bertemu dengan mantan kekasihmu yang tampak lebih bahagia setelah berpisah denganmu. Hanya karena kamu ingin menyakitinya dan membuatnya percaya bahwa kamu sudah tersembuhkan dari luka yang ditinggalkannya! Hebat!

“Armand.” katanya pendek namun penuh percaya diri sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat Ruben.

“Congrats ya. Saya Ruben” Ruben menjabat tangan Armand, sedikit terkejut.

“Owh ya, Chandra pernah cerita tentang Anda.”

“Really? Wah, semoga yang baik-baik saja yang diceritakan.”

“Kesan awal saya memang amat baik terhadap cerita Chandra mengenai Anda. Cuma saya tidak suka ending Anda meninggalkannya demi orang lain.” Aku meremas tangan Armand dan melotot kepadanya. Merasakan punggungku panas menatap muka Ruben yang memerah karena menahan emosinya.

“Well, saya rasa ada baiknya juga Anda berpisah dengannya karena itu merupakan keberuntungan saya untuk memenangkan hati wanita yang luar biasa ini. Dan saya yakin saya tidak salah memilihnya menjadi istri saya.”

Ruben melongo.

Ada hangat yang aneh ketika aku mendengarkannya mengucap kalimat terakhirnya. Terasa sangat manis dan tulus sehingga membuatku merinding mendengarnya…

Armand hanya tersenyum dan sebagai balasan dia memeluk pinggangku sambil berkata, “Allons, mon petit chou(3). Aku antar pulang, katanya tadi sedikit pening. Ga baik kurang istirahat dan sering kelupaan makan hanya karena sibuk mengurus pernikahan KITA. Sampai ketemu di pernikahan kami, Ruben.”

Ruben masih melongo.

Dan balas dendam itu ternyata manis…

***

Dan begitulah. Sekarang aku berada di kamar yang sama dengan Armand. Berpura-pura menjadi istrinya sampai waktu yang tidak ditentukan. Bersandiwara di depan Oma Jo, pura-pura mencintai cucu kesayangannya… Bangun tiap pagi menyiapkan sarapannya sebelum Armand pergi ke kantor. Meladeni Oma Jo yang baik dan menyayangiku—kasih yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun lalu—seperti ada kupu-kupu yang beterbangan dalam perutku, rasanya menggelitik, membuatku merasa tak nyaman karena kebohongan besar kami. Tak selayaknya wanita tua yang baik ini menerima kebohongan kami.
Kecupan selamat tinggal di pagi hari… Pelukan yang hangat… Ah, beginikah indahnya berkah seorang manusia yang diberkati dalam pernikahan dan berbagi kasihnya yang terpilih untuk tumbuh berbagi hidup dan beranjak tua bersamanya?

Dan ketika malam tiba, dan pintu kamar kami dikunci tiba-tiba rasa dingin menguras habis hangatnya kasih yang kami bagi setiap pagi. Aku dan Armand tidur saling memunggungi. Meskipun kedekatan kami di luar kamar tak pernah berubah namun ranjang besar ini merupakan siksaan hebat bagi kami berdua.

Ada rasa lega ketika Armand harus pergi membasuh badannya ke kamar mandi setiap kali pulang dari kantor larut malam karena aku akan terbebas darinya terkunci berdua saja di ruangan berbentuk kubus marun ini untuk beberapa saat. Dan saat dia keluar dari kamar mandi hanya dengan membebat badannya dengan handuk jantungku mendesir perlahann… Diam-diam aku sering mengamatinya. Berbaring memunggunginya. Melihatnya dari kaca yang memantulkan tubuhnya yang tinggi tegap dengan ujung mataku yang menyipit berpura-pura terlelap. Aku suka aroma sabun yang melekat di kulitnya… Wangi… Basah… Juga sisa-sisa air hangat yang masih melekat di tubuhnya yang mengalir jatuh dari punggungnya, leher dan dadanya… Mengingatkanku pada David salah satu karya besar Michaelangelo seandainya saja patung itu ditaruh di luar ruangan dan dibiarkan terguyur hujan…

Betapa Tuhan pemberi keajaiban yang tulen karena hanya dengan menatap wajah orang yang berbagi hidup denganmu di saat mereka terlelap kamu bisa merasakan getaran kasih yang dalam. Menatap wajahnya saat terlelap. Kadang tergurat resah. Kadang lelah. Kadang tersenyum manis di saat lelapnya, dan aku berharap dia sedang mimpi indah. Kadang bergumam tidak jelas sambil menyebut sebuah nama. A.M.A.R.A… dan aku mendapati hatiku tersayat karenanya. Membuatku perlahan bangkit dan melangkah menuju balkon, berkeluh kesah kepada dingin malam yang lebih bersahabat…
Namun aku mengasihinya. Sama besar seperti saat kami tumbuh besar bersama.

***
Berpura-pura???

Aku rasa berpura-pura mencintai Chandra merupakan kebodohan besar yang tak seharusnya kulakukan. Apakah aku menyesali pilihanku atas perjanjian kami? Aneh! Antara menyesal dan perasaan senang bercampur menjadi satu.

Aku sering menatapnya saat lelap. Tampak sekali dia resah. Entah apa yang diresahkannya. Dia kerap mengganti posisi, dan beberapa kali kudapati ada bekas airmata. Apakah yang membuatnya resah? Rubenkah?

Sebenarnya aku tak pernah berniat jatuh cinta pada Chandra. Tapi sikapnya begitu manis, penyayang… Dan setiap aku mendekapnya ke dadaku rasanya Maut pun tak akan mendekat padaku… Ciumannya juga begitu manis, meskipun itu hanya ciuman palsu tapi cukup membuatku terserap habis dalam kasihnya.

Tetapi… Siapa pula aku? Aku hanya suami yang mengontraknya menjadi istriku selama waktu yang diperlukan, dan tujuan utama kami adalah membahagiakan Oma Jo di ujung usianya, selain alasan pribadi lainnya, Ruben dan Amara misalnya.

Dan aku tahu Chandra sudah mulai resah sejak Oma Jo mencecarnya dengan pengharapan semoga Oma Jo masih sempat melihat cicitnya dari kami berdua. Aku tak berani memaksanya, karena kesediannya untuk berpura-pura menjadi istriku demi membahagiakan Oma Jo saja sudah luar biasa. Aku tak akan membebaninya dengan permintaan-permintaan yang lebih memberatkannya. Meskipun aku ingin… Melihat bagian dari diriku dalam rahimnya tumbuh dan berkembang dikelilingi kasih. Kasih kami… Kasih Oma…

Aneh… Sudah enam bulan setelah pernikahan kami dan banyak kolega juga saudara yang dengan penuh harapan dan doa bertanya berita munculnya buah hati kami, tiba-tiba saja berfikir untuk menjadi seorang ayah bukanlah hal yang begitu buruk. Dan berfikir wanita yang akan berbagi bahagia denganku dan Oma dalam urusan mengganti popok yang bau, jaga malam, jatah membuat susu, jatah memandikan bayi, pergi berkunjung ke dokter anak adalah Chandra cukup membuat perutku mual. Dan itu bukan karena dia ga cocok, tapi karena aku yakin Chandra akan membunuhku apabila aku menyampaikan ide ini. Bukankah proposal untuk menikahinya tanpa melibatkan kontak fisik yang lebih dalam? Kurasa ciuman palsu dan semua pelukan hangat di depan Oma Jo itu sudah cukup membebaninya. Kontak fisik minimal yang akan menyempurnakan sandiwara kami di depan Oma Jo. Dan jika aku harus melakukan “itu” aku ingin melakukannya dengan penuh kasih, ikhlas, tanpa beban, tanpa prasangka Chandra hanya kusewa sebagai container sperma yang akan menampung benih kami, karena aku ingin calon bayi kami diciptakan dengan penuh kasih mama-papanya, bukan karena obligasi tertentu atau perjanjian konyol yang akhirnya hanya akan berakhir dengan kami saling menyakiti dan pada akhirnya juga akan menyakiti anak kami. Aku ingin Chandra mencintaiku dan memintanya dengan kasih…

Ah, perempuan keras kepala itu! Kenapa aku jadi begitu menginginkannya???

***

Harus malam ini. Aku ingin menyelesaikan semua malam ini. Aku ingin solusi yang saling menguntungkan dan tak perlu ada orang yang terluka lagi. Aku sudah letih berpura-pura.

“Chandra, belum berbaring?” sapa Armand ramah. Aroma wangi sabun menguar bersama Armand yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aroma yang begitu kusukai.

“Gue perlu ngomong sama lo, Ar.” kataku pendek.
“Tentang?”

“Kita, Oma Jo, semuanya...”

Armand mengambil kimononya dan membebat badannya, “Fire it up. (4)”

“Gue pengen anak dari lo.” Dan aku bergetar saat mengatakannya.

Armand melongo. Tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Tapi... Tapi perjanjian kita kan tak perlu kontak fisik yang melebihi ciuman dan pelukan di depan Oma???” katanya.

“Anggap saja kalau ingin membahagiakan Oma kita tak perlu setengah-setengah. Dan tak perlu khawatir jika semua harus berakhir... Gue akan merawat dan membahagiakan anak kita. Lo bisa pegang janji gue.”
Armand masih terpana. Kemudian dia beranjak mendekati ranjang, duduk disebelahku, menghela nafas dengan beratnya. Kemudian dia mengambil tanganku untuk digenggamnya dekat di dada. Bisa kurasakan denyut kehidupan di sana.

“Chan, bukan gue ga ingin meluluskan permintaan lo, tapi untuk soal ini gue ga pengen melibatkan seorang lagi manusia dalam kebohongan besar ini. Dan jika gue kudu memiliki anak dari lo, gue pengen itu karena lo sayang gue bukan karena kewajiban lain.” katanya lembut.

Aku gemetar mendengar penjelasannya, dan mataku mulai berkaca-kaca, berharap ada seseorang yang tulus mengasihiku, menikahiku dan memiliki kemauan yang luar biasa untuk membahagiakanku sepertinya...

“Gue rasa setelah pernikahan ini gue ga pengen nikah lagi, Ar. Cape gue dengan urusan hati. Gue cuma berharap kalo toh emang gue ga pernah nikah lagi, ada bingkisan kecil dari lo yang bisa gue bawa dan gue rawat dengan penuh kasih.” kataku pelan.

“Dan kalo dia sudah besar kelak dia akan bisa melindungi gue kalo lo atau Oma Jo sudah ga ada lagi di sisi gue. Kalau itu ga pa-pa buwat lo gue bersedia melanggar janji itu untuk membahagiakan Oma Jo.”

“Chan, saat lo tidur gue denger lo sering menyebut nama Ruben. Jujur saja, gue juga jadi ngrasa ga enak. Gue rasa lo masih sayang sama dia. Kenapa ga mencoba memenangkan kembali hatinya?”

Ah, mantra yang salah! This whole Ruben stuff is always getting on my nerves. (5)

“Ngerti apa lo soal Ruben?!?” jawabku tiba-tiba. Kasar, defensive, dan penuh kemarahan. “Bukannya lo juga sering ngigau soal Amara?!? Stick to the case! (6) Ga usah lah ngeles pake nama mereka sebagai alasan. Lagian juga daripada memilih hidup sama lo begini mendingan gue lompat jendela aja kali jadi gue ga perlu terlibat dalam perjanjian bodoh ini dan berbohong pada Oma Jo!” semburku marah.
Tiba-tiba saja Armand mencekal kedua tanganku erat-erat.

“Lepas! Lo mau matahin lengan gue, Ar?!” aku meraung kesakitan.

Cekalan tangan Armand melembut, kemudian dia memelukku hangat, “Kamu begitu baik, pintar dan cantik, Chandra. Kamu layak mendapatkan kasih yang lebih indah dari ini semua...”

Dan kata-katanya seperti sihir yang melemahkan pertahananku... Nafas yang hangat dan belaiannya lembut yang tak terduga. Ini yang aku mau. Ini yang aku inginkan. Aku ingin Armand memenuhi diriku dengan dirinya... Aku mengasihinya, lebih dari yang kukira...

Dan jika aku dikutuk maka terkutuklah aku... Aku pasrah akan apa yang menjadi kehendak Tuhan...

Glossary:
1. C'mon. I know you want it = Ayolah. Aku tahu kamu menginginkannya.
2. Do I really want it? = Apakah aku benar-benar menginginkannya?
3. Allons, mon petit chou= Ayo, Sayang.
4. Fire it up = Silahkan dimulai.
5. This whole Ruben stuff is always getting on my nerves. = Persoalan tentang Ruben selalu bikin gue BT
6. Stick to the case! = tidak usah mengalihkan pembicaraan

Cerpen Tema Pendidikan ini Karya : Seorang Cerpenis Muda .

Daftar Isi [Tutup]

    Reaksi:
    Newer
    Older

    2 Comments

    lirik lagu said…
    Mantaf nich, gudang cerpennya...
    bagus banget cerpenya.. semangat